Tentang penyerbuan Makkah, Baluki kemudian menceritakan kejadian itu panjang lebar. Dia mengatakan, penguasaan air di negeri gurun semenjak dahulu kala memang mau tidak mau berurusan dengan politik-kekuasaan. Pemenuhan pasokan air adalah hal yang sangat vital. Bila pasokan kurang, bahkan menghilang, maka dipastikan keguncangan politik akan terjadi.
Dan, khusus untuk air zamzam, titik balik pengaturannya bermula dari tragedi pengepungan Masjidil Haram selama dua pekan. Peristiwa ini kerap disebut sebagai ‘Kudeta Makkah’. Persisnya, terjadi seusai shalat Subuh pada 1 Muharam 1400 Hijriyah (20 November 1979).
Kudeta ini diawali dengan peringkusan imam shalat Subuh yang dipimpin Muhammad bin Subail. Tak cukup dengan menyandera sang imam dan merebut mikrofon masjid, tiba-tiba ratusan orang bersenjata yang menyamar sebagai jamaah shalat Subuh, mengeluarkan berbagai macam senapan dan menembaki para penjaga masjid yang saat itu hanya dibekali pentungan. Setelah itu keributan semakin menjadi manakala mereka kemudian menutup semua pintu masjid dan menyandera jamaah yang saat itu shalat Shubuh di Masjidil Haram.
Tentu saja, Pemerintah Arab dibuat kalang kabut. Selama dua pekan terjadi tembak-menembak. Pasukan khusus asal Prancis juga diterjunkan untuk merebut masjid itu kembali. Mayat bergeletakan di mana-mana. Berbeda dengan data yang dilansir Arab News hari ini, di akhir pengepungan terdata 255 jamaah haji tewas, 560 orang terluka, dari pihak tentara Arab 127 orang tewas dan 451 terluka.
Pemimpin pemberontakan Juhaiman al-Utabibi dan para pelaku kudeta yang berjumlah sekitar 500 orang dijatuhi hukuman mati dengan cara dipancung.
Juhaiman al-Utabibi
‘’Dari atas hotel, saya lihat langsung aksi tembak-tembakan itu. Saya lihat mayat yang bergelimpangan di dalam masjid. Untuk jamaah yang saya layani, yang di antaranya merupakan adik Wakil Presiden Adam Malik, tidak terkena musibah. Yang pasti peristiwa itu tak terlupakan,’’ kata Baluki.
Lalu bagaimana berbagai macam senjata bisa dipasok ke dalam masjid? Baluki menjawab ternyata senjata-senjata itu telah dipasok bersamaan dengan keranda mayat. Setelah itu ditimbun di dalam kamar-kamar yang ada di dalam Masjidil Haram yang selama ini dipakai oleh orang-orang Yaman yang bekerja membagi-bagikan air zamzam itu.
‘’Mulanya kamar-kamar itu, dulu diperuntukkan sebagai tempat tinggal para imam Masjidil Haram. Tapi, karena mereka kemudian tak lagi menempatinya, maka orang-orang Yaman itulah yang memakainya. Dan ternyata, para peristiwa Kudeta Makkah, tempat itu dipakai untuk menimbun senjata,’’ ujar Baluki seraya mengatakan senjata-senjata itu ternyata juga telah disiapkan dengan cara disembunyikan di gerobak sayuran dan buah-buhan milik para pedagang yang biasa berjualan di seputaran Masjidil Haram.
Cara Kerajaan Arab Saudi di dalam menangani peristiwa kerusuhan pun unik. Sadar mendapat perlawanan yang ketat dari para pemberontak yang menguasai area Masjidil Haram, maka seluruh pasokan listrik ke are itu dimatikan.
Para pelaku penyerangan Masjidil Haram di tahun 1979.
Pemberontak pun masih dapat bertahan karena mendapat pasokan air bersih yang cukup dengan cara menimba sumur zamzam yang berada di dalam masjid. Apalagi, mereka ternyata juga sudah menimbun bahan makanan di dalam kamar yang selama ini ditempati para 'pedagang air zamzam' yang berasal dari Yaman tersebut. Selama dua pekan aksi tembak menembak berlangsung sangat seru.
"Sadar bila diserbu dengan perang senjata akan memakan banya korban, maka pihak tentara kerajaan kemudian membanjiri area Masjidil Haram dengan air sampai air tergenang. Setelah itu, air yang tergenang dialiri listrik. Nah, pada saat itulah para pemberontak menyatakan menyerah karena takut gosong tersengat listrik. Begitu menyerah pasukan kerajaan segera meringkusnya untuk kemudian diadili. Imbas dari peristiwa itu semua anak keturunan dan kabilah Juhaiman diawasi ketat sampai sekarang. Padahal, kabilah ini termasuk kabilah Badui yang besar,'' kata Baluki.
‘’Khusus untuk yang di sumur zamzam di Masjidil Haram kini tempat itu sudah ditutup dan 'rumah pompanya' diletakkan di lantai bawah Masjidil Haram. Maka, berbeda dengan suasana di awal tahun 80-an, sekarang sudah tak ada lagi orang yang mandi-mandi atau mencuci pakaian ihram dengan air zamzam. Dahulu kebiasaan ini banyak dilakukan jamaah haji asal India dan Pakistan (bahkan juga di Jawa). Bagi mereka kain ihram yang dicuci dengan air zamzam menjadi bernilai khusus atau magis, yakni sebagai lambang kesucian dan akan dipakai sebagai kain kafannya,’’ ungkap Baluki.