Sabtu 15 Sep 2018 11:52 WIB

Kurs Dolar, Fatwa Hasyim Asy’ari, Hingga Larangan Pergi Haji

Hanya penguasa yang berwenang menutup sementara pemberangkatan jamah haji.

Jamaah haji asal Martapura
Jamaah haji asal Martapura

Salah satu debat wacana yang paling seru pada pekan terakhir ini adalah soal kenaikkan nilai kurs dolar AS terhadap rupiah. Dan makin seru lagi setelah ada pakar ekonomi senoir menuding penyebab naiknya kurs dolar adalah akibat larinya devisa domestik negara akibat penyelenggaraan ibadah haji. Katanya, ibadah haji itulah yang banyak menggunakan dolar AS karena sedikit sekali jamaah mengginakan produk Indonesia seperti kain ihram yang dibikin di Cina.

Tudingan ini membuat panas Kementrian Agama. Dia lalu membantah bila mereka hanya gunakan mata uang tupiah dan riyal saja dalam pembiayaan penyelenggaraan ibadah haji.  Bahkan untuk pembelian tiket pesawat bagi jamaah haji mereka nyatakan sudah bayar pakai mata uang rupaih. Dan kain ihram yang dipakai jamaah haji bukan buatan Cina, tapi 'made in' dalam negeri yakni Majalaya.

Perang argumen ini makin sengit ketika Wakil Ketua Umum Himpuh, Muharom Ahmad, mengatakan, tidak paham betul dengan polemik mengenai kenaikan kurs dolar terhadap rupiah akibat dari penyelenggaraan haji. Apalagi, secara nyata pihak para penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) tidak pernah menenteng-nenteng dolar ke Arab Saudi. Selain itu, dari zaman dahulu meski ada orang pergi haji, dolar tetap saja naik dan turun nilainya.

"Sebenarnya terkait kepastian hubungan kenaikkan dolar dan jamaah haji di Indonesia, biarlah Pak Anggito Abimanyu yang paling tepat untuk menjawabnya. Beliau adalah ahli ekonomi sekaligus ketua Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Kalau soal kenaikkan kurs dolar terhadap rupiah ditanyakan kepada kami, maka hanya sesederhana ini kami bisa menjawabnya,’’ kata Muharom, di Jakarta, Rabu (12/9).

Muharom mengatakan, selama ini seluruh pembayaran operasional layanan kepada jamaah haji oleh PIHK tidak ada yang pakai dolar AS. Semua pakai mata uang rupiah dan riyal. Dan, transaksinya pun melalui pembayaran antarbank yang jelas di bawah pengawasan otoritas negara.

"Biaya tiket pesawat pun kami bayar pakai rupiah lewat bank. Layanan yang pakai valuta asing cuma riyal, yakni untuk membayar angkutan di Arab Saudi, katering, layanan di Arafah dan Mina, dan membayar hotel untuk jamaah. Kami membayar pakai riyal pun karena menaati aturan Pemerintah Arab Saudi. Kami tidak pernah menenteng-nenteng dolar ke Arab sebab pasti akan ketahuan oleh pihak imigrasi,’’ ujarnya lagi.

Ya, tapi polemik sudah terlanjur besar. Soal kurs dolar telah menghinggapi  masalah penyelenggaraan ibadah haji. Bahkan saking sengitnya ada yang nekat — atau bahkan sudah berani mengatakan-- pemerintah perlu menutup penyelenggaraan ibadah haji sampai keadaan kurs atau kondisi ekonomi membaik. Sinyalemen ini menarik karena sudah pula cukup lama diperbincangkan di media sosial yang hari ini menjadi’lawan tangguh’ penyemai opini di media ‘main stream alias kinvensional’.

Maka, atas polemik itu apakah menjadi masuk akal dan juga ada acuannya bila pemerintah untuk menutup sementara penyelenggaraan jamah haji  pada situasi ekonomi yang sulit? Jawabnya jelas bisa dengan syarat tertentu. Dan sebelum menjawab lebih jauh harus dipahami dahulu bila pemerintah tak mungkin menutup permanen penyelenggaraan ibadah .

Mengapa? Ini karena pelarangan pergi haji (secara permanen) akan melanggar hak asasi manusia dalam beragama yang itu dilindungi konstitusi. Lagi pula yang namanya berziarah atau keluar negeri itu tak bisa dilararang karena ini menjadi hak semua umat beragama dan individu warga negara lainnya (atau tak hanya dilakukan oleh umat Islam  saja).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement