REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Elba Damhuri
Selama beberapa hari, saya bersama rombongan dari Indonesia diundang Pemerintah Kota Himeji, Jepang, untuk menyaksikan betapa seriusnya mereka membidik wisata halal. Pemerintah Himeji ingin menunjukkan kepada kami bahwa mereka telah menyediakan segala kebutuhan turis Muslim seperti makanan dan minuman halal, tempat shalat, oleh-oleh halal, hingga objek-objek wisata yang menarik.
Ada banyak spot wisata menarik yang saya datangi. Ada Kastil Himeji yang berusia sudah seribu tahun, Kuil Engyoji yang menjadi tempat syuting film The Last Samurai, Taman Koko-en (taman para syogun dan samurai), Padang Rumput Tononami tempat film Norwegian Wood mengambil gambar , pusat Kota Himeji, hingga resor tempat bermain ski.
Sejumlah restoran yang menyajikan menu halal dan ramah Muslim pun saya datangi. Beberapa restoran memajang tulisan Muslim friendly dan halal di pintu masuk. Foto-foto makanan halal pun mereka tampilkan.
Himeji sedang berderap keras mengikuti jejak Tokyo, Osaka, Hokkaido, dan daerah-daerah lainnya di Jepang menarik turis Muslim. Wisatawan Muslim asal Indonesia pun menjadi target kejaran mereka.
"Kami sangat serius mengundang turis Muslim dari seluruh dunia berkunjung ke Jepang, termasuk dari Indonesia," kata pengusaha travel Jepang, Takeo Uchiyama, saat menemani saya di Himeji.
Wisatawan asal Indonesia berpose di area Kastil Himeji, Jepang, akhir pekan lalu.
Uchiyama bercerita, Jepang memiliki banyak objek wisata menarik, baik dari sisi sejarah, kekinian, maupun keindahannya. Jepang melihat belakangan ini turis Muslim begitu antusias pelesiran ke luar negeri. Jepang ingin menangkap mereka. Isu halal pun menjadi perhatian penting.
Selama 10 tahun terakhir, Pemerintah Jepang telah menyadari betapa penting dan berharganya kehadiran wisatawan Muslim--yang jumlahnya bakal mencapai 200 juta dari seluruh dunia pada 2022.
Jumlah wisatawan Muslim yang datang ke Jepang dari tahun ke tahun meningkat--terutama sejak mereka giat kampanye turisme halal. Pada 2016, ada 24 juta turis asing berkunjung ke Jepang dari target 20 juta pada 2020. Hampir 1 jutanya (sekitar 700 ribuan) merupakan wisatawan Muslim.
Berdasarkan data dari Organisasi Pariwasata Nasional Jepang (Japan National Tourism Organisation/JNTO), pada 2016 ada hampir 271 ribu turis Indonesia datang ke Jepang. Jumlah ini naik tajam dari tahun 2009 yang hanya 63 ribu.
Begitu pun turis Muslim asal Malaysia. Mereka sangat tertarik berwisata ke Jepang sejak kampanye wisata halal dan ramah Muslim digalakkan. Pada 2016, JNTO mencatat ada 394 ribu turis Malaysia ke Jepang atau naik dari tujuh tahun lalu yang hanya 89 ribu orang.
Jepang sangat paham betapa potensi wisata Muslim global sangat besar. Bersama negara-negara non-Islam lainnya seperti Australia, Thailand, Selandia Baru, Cina, Korea, Singapura, hingga banyak negara Eropa, Jepang ingin merebut pangsa pasar wisata Muslim yang diperkirakan mencapai 320 miliar dolar AS pada 2024 mendatang.
Dari prediksi Master Card-Crescent Rating, pada 2020 ada 1 juta wisatawan Muslim datang ke Jepang, bersamaan Olimpiade yang digelar di Tokyo. Jumlah ini naik 18,7 persen dari periode 2013-2020.
Turis-turis Muslim dari Asia Tenggara tercatat paling banyak mendatangi Negeri Matahari Terbit itu. Destinasi utama mereka berdasarkan urutan, Tokyo, Osaka, dan Hokkaido.
Pertanyaannya, mengapa Jepang tergolong sukses menarik turis Muslim berwisata ke sana? Dari hasil kunjungan saya dan berdiskusi dengan pejabat Pemerintah Kota Himeji, pelaku usaha travel Jepang, dan pengusaha kuliner, ada dua faktor yang menentukan keberhasilan ini.
Pertama, faktor dari internal Jepang. Jepang telah menyadari arti penting turis Muslim yang banyak mendatangi negara-negara di lima benua. Jepang yang selama ini kurang paham cara melayani turis Muslim terbangun dan menyiapkan semua infrastruktur untuk menarik lebih banyak lagi turis Muslim.
Dari terbentuknya mindset "kesadaran atas pentingnya turis Muslim" ini, Jepang langsung berbenah. Edukasi dan sosialisasi apa itu halal dan ramah Muslim digelar di seluruh prefektur Jepang.
Pemerintah daerah dan pelaku usaha perjalanan termasuk pemilik restoran Jepang diberikan edukasi tentang makna halal, apa yang harus disiapkan dan disajikan, serta apa yang tidak boleh diberikan. Mereka diajarkan cara melayani turis Muslim, baik di restoran, hotel, kafe, tempat wisata, maupun pusat kota.
Yang namanya workshop dan halal expo sudah tidak terhitung banyaknya yang digelar di kota-kota besar. Mereka juga mendatangkan pelaku usaha perjalanan dari negara-negara Muslim dan tokoh-tokoh Muslim untuk menyampaikan arti penting sertifikasi halal.
Beberapa restoran memajang tulisan Muslim friendly dan halal di pintu masuk. (Elba Damhuri)
Jepang kemudian menyediakan penerbangan-penerbangan bujet (murah). Mengapa ini penting? Mayoritas pelancong Muslim ternyata generasi milenial yang biasanyanya memilih tiket murah, jalan-jalan dengan angkutan umum selama di Jepang, pergi bergerombol, dan memperhatikan faktor halal dan ramah Muslim.
Visa pun mereka permudah. Hotel-hotel bujet dan ramah Muslim tersedia di banyak tempat. Yang tidak kalah pentingnya, makanan dan minuman halal mudah didapatkan di banyak kota Jepang. Tempat ibadah juga tersedia.
Ini yang saya rasakan langsung saat berada di Himeji, sebuah kota di bawah Prefektur Hyogo, berjarak sekitar satu jam bus dari Osaka. Saat berada di pusat kota, makanan halal mudah dicari.
Saat waktu shalat, cari mushala tidak susah. Mushala tempat saya shalat di Himeji tidak terlalu luas, tetapi sejuk dan bersih. Alquran dan buku-buku Islam tersedia di sana.
Faktor kedua datang dari eksternal Jepang. Faktor ini menyangkut tumbuhnya kelompok menengah Muslim di banyak negara Islam, terutama di Indonesia. Perbaikan ekonomi memberikan dampak lahirnya kelompok menangah dengan kegemaran traveling.
Kelompok Muslim ini punya kebiasaan jalan-jalan ke luar negeri minimal setahun sekali. Traveling seolah sudah menjadi kebutuhan dasar. Mereka sengaja menabung, merencanakan perjalanannya dari jauh-jauh hari, dan mencari spot-spot baru yang menarik, bagus, dan Instagramable.
Festival Nada (Tarung) menjadi daya tarik turis datang ke Himeji, Jepang. Festival merayakan panen ini digelar selama dua hari pada setiap 14-15 Oktober.
Negara-negara Timur Tengah yang semakin terbuka pun kini banyak memberikan kontribusi atas banjirnya wisatawan ke luar negeri. Mereka tercatat lebih lama tinggalnya, lebih banyak belanja dan jajannya.
Jepang mampu memadukan dan menyinergikan rumus 3A ala Menteri Pariwisata Arief Yahya dalam menarik turis asing. Rumusan 3A itu mencakup atraksi, akses, dan amenitas.
Atraksi terkait dengan tempat-tempat wisata yang mampu menarik hasrat dan kepuasan turis yang datang. Akses menyangkut kemudahan menjangkau tempat wisata dengan berbagai moda transportasi. Sementara itu, amenitas fokus pada fasilitas akomodasi, restoran, kafe, tempat belanja, dan lain-lainnya.
Faktor value (nilai) pun Jepang punya. Selain 3A tadi, ada nilai-nilai kesejarahan dan kekinian yang menjadi magnet kuat Jepang menarik turis asing, termasuk turis Muslim. Nilai-nilai budaya dan falsafah hidup yang tumbuh di masyarakat memberikan andil bagi inginnya turis asing berkunjung ke Jepang.
Perpaduan empat di hal itulah yang menjadikan Jepang sebagai salah satu tujuan wisata Muslim dari Asia Tenggara dan negara-negara Timur Tengah.
Jepang bisa, Indonesia tentu juga bisa.