Senin 17 Dec 2018 14:43 WIB

Al-Balad dalam Catatan Sejarah

para pedagang dari berbagai penjuru dunia hadir di kota tersebut.

Sejumlah jamaah haji asal Cina nampak tengah memenuhi pusat perbelanjaan di Al Balad Corniche, Jeddah, Sabtu (25/8).
Foto: Republika/Fitriyan Zamzami
Sejumlah jamaah haji asal Cina nampak tengah memenuhi pusat perbelanjaan di Al Balad Corniche, Jeddah, Sabtu (25/8).

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Oleh Fitriyan Zamzami

Ketika saya mengunjungi Al Balad pada siang hari tengah pekan September lalu, sedikit saja manusia yang berkeliaran di lokasi tersebut. Daerah itu memang sudah ditinggalkan penghuninya sejak 2007 lalu seturut penetapan status cagar budaya. Hanya sejumah pekerja asal Asia Selatan dan Somalia yang sedang merenovasi bangunan,serta beberapa penjaga gerbang.

Baca Juga

Kondisinya tak selalu demikian. Pengelana Inggris Richard Francis Burton mengenang dalam bukunya Personal Narrative of a Pilgrimage to al-Madinah and Meccah, kota itu semarak saat ia kunjungi pada 1853.

Ia menuturkan, para pedagang dari berbagai penjuru dunia hadir di kota tersebut. Membawa rempah dari India dan Nusantara, keramik dari Cina, karpet dari Turki dan Persia. Termasuk juga diplomat, pedagang, dan sesekali agen rahasia dari Eropa.

Pada musim haji, tulis Burton, gedung-gedung di kota itu tak mampu menampung para jamaah yang datang dari seantero bumi. Yang tak kebagian kamar terpaksa mendirikan tenda di pelataran dan alun-alun kota.

Catatan sejarah lainnya menuliskan, jamaah haji dari Tanah Air juga hadir bersama kelimun di Jeddah tersebut. Me nunggu stempel dari Konsulat Belanda seba gai syarat meneruskan perjalanan ke Makkah.

Saat ini, kondisi serupa bisa dibayangkan bila kita menyambangi wilayah Kota Tua Jeddah pada sore hari menjelang malam, utamanya pada akhir pekan. Waktu-waktu itulah biasanya warga Jeddah keluar rumah setelah terik mentari tak lagi sedemikian panas.

Pedagang-pedagang dari Turki, Afghanistan, Pakistan, dan Nigeria mulai sibuk menggelar jualan mereka di souk dan pelataran. Pekerja dari Filipina berkeliaran dengan abaya meski tak menutupi rambut mereka.

Buruh-buruh dari Afrika mengambil rehat mereka. Migran dari Indonesia dengan kerudung longgar. Sementara perempuan-perempuan lokal kebanyak an menutupi penuh wajah mereka dengan cadar.

Orang-orang tua duduk bersama di dipan-dipan pelataran rumah kosong sembari menyesap chaiatau kahwahdan mengobrol sembari tertawa. Muda-mudi Jeddah yang mulai berani berpakaian modis mengambil gambar dan swafoto di sana-sini untuk memenuhi laman media sosial mereka.

Serupa seabad lalu

Suasana masa lampau di Kota Tua juga biasanya dibuat bertambah kuno pada perayaan hari-hari besar, seperti saat menjelang perayaan Hari Nasional Arab Saudi pada 20 September lalu. Sebagian wilayah Kota Tua disulap menyerupai keadaan seratus tahun lalu.

Lantai konblok di beberapa tempat ditutupi pasir dari gurun. Aktor serta aktris ditempatkan bersama properti yang menggambarkan kehidupan saat kerajaan memulai keberadaanya. Para lakon ini nampak menjiwai betul peran mereka, membuat pengunjung serasa benar-benar berada di masa lampau.

Pada akhirnya, kawasan Kota Tua di Jeddah bukan tempat yang cukup didatangi sekali saja. Seperti Putri Syahrazad dalam Kisah 1001 Malam, ia punya banyak cerita. Ketika malam mulai larut dan para pengunjung bergegas pulang, kota itu kembali menyimpan rahasia-rahasianya kemudian berbisik pelan, itu kisah untuk lain waktu, Tuanku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement