IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama telah meminta Pemerintah Arab Saudi menunda penerapan kebijakan rekam biometrik bagi calon jamaah umrah. Permintaan tersebut telah disampaikan melalui lisan maupun tulisan atau mengirimkan surat kepada Pemerintahan Saudi.
"Permintaan penundaan ini sampai pihak Visa Facilitation Service (VFS) Tasheel selaku operator yang ditunjuk, dapat menyiapkan segala sesuatunya secara layak," kata Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Dirjen PHU) Kemenag Nizar Ali, seperti dikutip situs kemenag.go. Kamis(27/12).
Nizar Ali memimpin Rapat Koordinasi (Rakor) Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah Membahas Kebijakan Biometrik, di Jakarta, kemarin. Hadir dalam rapat tersebut Dirjen PHU, Direktur Bina Umrah dan Khusus, M Arfi Hatim, dan Kepala Sub Direktorat Pengawasan Umrah dan Haji Khusus, Noer Alya Fitra dan Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri, perwakilan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Persatuan Travel Umrah dan Haji Khusus Indonesia (Patuhi), dan beberapa Asosiasi Penyelenggara Umrah.
Dalam kesempatan rakor itu, Nizar merekomendasikan, agar pengambilan biometrik ini dilakukan sebelum jamaah keluar dari Indonesia. Seperti halnya jamaah haji, atau kerja sama sharing data biometrik antara Arab Saudi dengan Kantor Imigrasi Indonesia.
"Ini akan sangat membantu mengurangi lalu lintas jemaah yang memakan biaya cukup besar bagi mereka yang tinggal di daerah," ujar Nizar.
Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus M Arfi Hatim mengatakan, langkah Pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang mengharuskan rekam biometrik sebagai syarat pengajuan visa umrah, telah menimbulkan kekhawatiran. Menurutnya, banyak jamaah yang mengurungkan niat untuk melaksanakan ibadah umrah karena terkendala syarat rekam biometrik tersebut.
Hal ini disebabkan sulit dan mahalnya proses rekam biometrik. Kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, menjadi salah satu alasan proses rekam biometrik tersebut menjadi sulit dan mahal.
"Sementara keberadaan kantor layanan biometrik sangat terbatas. Ada biaya tambahan yang dikeluarkan untuk dapat sampai ke lokasi layanan biometrik tersebut," kata Arfi.
Arfi menyatakan, Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus sengaja mengundang para stake holder terkait kebijakan ini untuk duduk bersama mencarikan jalan terbaik bagi jemaah umrah.
Sementara itu, para asosiasi meminta agar BKPM meninjau izin VFS Tasheel di Indonesia karena terbukti proses pengambilan biometrik ini dinilai menyengsarakan jemaah. Mereka mencontohkan Malaysia yang menurut mereka tetap menolak keberadaan VFS Tasheel sekalipun kebijakan itu berasal dari Pemerintah Arab Saudi.