IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Himpunan Penyelenggara Umrah dah Haji (Himpuh), Baluki Ahmad, mengatakan, tidak benar visa jamaah haji furadah menjadi duri dalam daging bagi penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia. Sebab, visa furada hanyalah sebuah visa mandiri yang diterbitkan pihak Arab Saudi guna melayani penyelenggaraan haji secara mandiri dan tak ada kaitannya dengan jatah kuota haji yang ada.
"Saya tak tahu apa itu maksudnya ketika seorang anggota DPR mengatakan jamaah haji furada sumber masalah. Visa furada itu di dapat dari visa dari pihak Pemerintah Arab Saudi dan masuk dalam e-hajj. Jadi, tak ada kaitannya bila ada jamaah haji furada telantar itu karena visa furada. Visa furada itu visa haji resmi, cuma bukan visa haji yang diambil dari jatah kuota haji yang ada," tegas Baluki Ahmad, di Jakarta, Kamis (14/2) ketika menanggapi berita bahwa jamaah haji furada menjadi 'duri dalam daging' bagi penyelenggaraan layanan haji.
Menurutnya, istilah furada sendiri memang istilah yang diberikan oleh para biro penyelengara haji dan umrah semenjak lama. Artinya, itu dari kosakata dalam bahasa Arab munfarid, yakni perorangan yang kemudian dijamakkan. Artinya, lagi visa haji yang bukan menggunakan jatah haji reguler melalui Kemenag atau visa yang didapat di luar 'G to G'. Cara mendapatkan visa ini adalah melalui Pemerintah Arab Saudi secara langsung. Dan di sana statusnya bukan 'haji gelap', melainkan haji resmi yang ada dalam catatan e-hajj Arab Saudi tersebut.
"Publik harus tahu siapa pengguna e-hajj selama ini selain orang biasa. Mereka di antaranya adalah anggota DPR, pejabat pemerintah, dan lembaga negara. Dan praktik penggunaan ini pun sudah tidak menjadi masalah dan kerap dibahas dengan kami ketika membicarakan soal penyelenggaraan ibadah haji, baik di parlemen atau di Kementerian Agama," tegasnya.
Bahkan, lanjut Baluki, KH Ma'ruf Amin pada 2018 pergi haji ke Makkah. Kala itu, dia baru saja ditetapkan menjadi calon presiden mendampingi Presiden Joko Widodo. Rencananya yang ramai di kala itu adalah selain berhaji, kepergiaan KH Ma'ruf Amin Ma'ruf juga untuk bertemu Habib Riziek Shihab.
"Nah, saya pun ketemu langsung belaiu di Makkah kala itu. Kiai Ma'ruf malah sudah jauh-jauh hari sebelumnya dipersiapkan untuk memberi 'khutbah Arafah' oleh salah satu biro haji umrah terkenal. Tak hanya beliau seorang, seluruh rombongannya kala itu oleh biro haji tersebut diuruskan visa haji melalui furada. Jadi, apa masalahnya dengan status visa ini?" ungkapnya.
Menjawab pertanyaan apakah visa furada menyebabkan adanya jamaah haji telantar? Baluki mengatakan, tidak sama sekali. Sebab, untuk mengurus sebuah visa furada, pihak travel haji sudah memenuhi semua syarat penerbitan visa ini secara lengkap. Baik dari tiket pesawat, katering, tempat tinggal, perlengkapan haji, tempat tinggal, dan berbagai sarana terkait haji lainnya.
"Harga mendapat layanan ini jelas tidak murah, jauh berbeda dengan ONH biasa mapun ONH Plus (haji khusus). Keunggulannya adalah jamaah memang tak perlu antre berpuluh tahun seperti dalam ONH biasa. Sebab, pada tahun yang sama, bila jamaah bisa mendapatan visa ini bisa langsung berangkat haji. Dan berbagai biro haji sudah lama mengurusi soal ini. Bahkan, kami menganggap visa ini adalah salah satu solusi dengan panjangnya antrean untuk pergi haji," kata Baluki.
Bagaimana bila anggota DPR itu menemukan jamaah haji yang telantar dan mengidentikannya sebagai jamaah haji furada? Baluki mengatakan, dia sebenarnya tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sebab, untuk bisa pergi haji di Arab Saudi bisa menggunakan berbagai macam visa.
"Beberapa di antaranya adalah menggunakan visa kerja yang mana seorang TKI bisa bekerja sembari berhaji. Di sini juga ada visa untuk kerja musiman, yakni berkerja selama musim haji saja, sebab saat itu Arab Saudi memang butuh sekali tenaga kerja untuk melayani jamaah haji. Yang lainnya adalah kerja visa ziarah. Lazimnya jamaah haji berangkat ke Saudi untuk umrah dan baru pulang seusai bulan haji. Itu hanya beberapa model berhaji saja, masih banyak cara lainnya. Jadi saya kecewa berat bila visa furodah jadikan biang kesalahan layanan jamaah haji. Sebab, tidak semua jamaah yang telantar itu jamaah menggunakan visa furada. Dan bila ada soal terkait ini, ujungnya juga ada soal pengawasan pemerintah kepada biro penyelenggara ibadah haji yang ada,'' ujar Baluki kembali menandaskan.
Di publik, cara pergi haji dengan memakai visa furada memang masih asing. Hanya beberapa pihak yang tahu. Apalagi, harga untuk pergi haji ini bisa berlipat-lipat dari haji biasa, baik jamaah haji reguler atau jamaah haji khusus. Untuk mengurus visanya saja, seorang jamaah harus menyediakan biaya sampai 6.000 dolar AS. Lazimnya, pergi haji dengan memakai visa furada dipasarkan oleh barbagai biro travel haji dengan harga minimal 15 ribu dolar AS. Dengan kata lain, jamaah yang pergi haji dengan memakai visa furada adalah mereka yang benar-benar mampu secara ekonomi dan syarat istitaah haji lainnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzili mempersoalkan soal jamaah haji furada. Hal ini mengingat dari aspek hukum di Indonesia, haji furada tidak diakui karena dasar hukum penyelenggaraan haji di Indonesia berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2008 yang diubah menjadi UU Nomor 34 Tahun 2009.
“Kami mendesak haji furada bagian dari regulasi yang diatur revisi UU haji, supaya jika terjadi apa-apa maka jamaah yang menggunakan haji furada tersebut tetap dalam pengawasan Pemerintah Indonesia. Haji furada ada pelaporan kasus, ada jamaah haji yang telantar yang menggunakan visa fuada maka Pemerintah Indonesia yang akan bertanggung jawab,” ujarnya kepada Republika.co.id, Kamis (14/2).
Menurutnya, haji furada merupakan haji yang menggunakan visa dari pemerintah Saudi. Artinya, haji ini tidak masuk ke dalam reguler atau khusus yang diberikan kuota oleh Pemerintah Saudi ke Pemerintah Indonesia.
“Kami punya komitmen akan segera mengesahkan UU haji yang baru. Ada beberapa hal krusial, termasuk haji furada, bisa menjadi duri dalam daging, tidak masuk UU, tetapi kalau ada masalah yang disalahkan pemerintah,” ucapnya.
Untuk itu, pihaknya terus menggodok RUU ini hingga tuntas. Setidaknya, jika ada permasalahan terkait penyelenggaraan ibadah haji dan umrah memiliki payung hukum, sehingga akuntabilitasnya bisa terjaga dengan baik.