IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Haji furodah masih memiliki masalah tersendiri. Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Komisi VIII DPR Iskan Qolba Lubis.
Menurut dia, persoalan yang dimaksud masih seputar pelaksanaan di lapangan. Misalnya, ketiadaan maktab, sehingga para jamaah haji furodah kadang kala mesti ikut dengan para jamaah haji reguler.
“Memang ada masalah di jamaah (haji) furodah ini. Jadi umpamanya di Saudi kita punya sekian maktab, nah jamaah (haji) furodah ini dimasukkan di dalam maktab-maktab ini bersama peserta haji kuota,” ujar Iskan Qolba Lubis saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (28/2).
Seseorang yang terdaftar sebagai jamaah haji furodah akan diberi visa haji melalui undangan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Visa itu di luar kuota visa haji reguler yang sudah menjadi jatah pemerintah RI.
Menurut Iskan, jamaah haji dengan visa furodah tidak perlu membayar berbagai biaya maktab, semisal layanan air atau sewa tempat. Dengan begitu, bila seorang jamaah furodah berada di maktab jamaah haji reguler, maka yang tersebut akhir itu mesti berbagi layanan dengan jamaah haji furodah.
“Yang mengendalikan urusan maktab di Saudi itu bukan Indonesia. Jadi (oleh Arab Saudi) dimasukkan dalam maktab-maktab itu (milik jamaah haji kuota), jadi mengurangi jatah jamaah haji kuota,” jelas dia.
Jamaah haji furodah hanya disediakan tempat oleh pemerintah Arab Saudi ketika mereka berada di Arafah dan Mina. Iskan mengungkapkan, ketersediaan tempat itu adalah kewenangan pemerintah setempat. Pemerintah RI, dalam hal ini Kementerian Agama, tidak bisa ikut campur.
Oleh karena itu, dia berharap, persoalan haji furodah dapat disertakan dalam Undang-Undang Haji yang kini sedang direvisi.
“(Kalau haji furodah sudah masuk UU Haji) kita akan minta Arab Saudi supaya jamaah furodah itu dibuat maktab sendiri. Itu juga kalau Saudi mau. Kalau tidak mau, kita tidak bisa memaksa,” papar dia.
Selama ini, menurut dia, pemerintah RI tidak pernah mengetahui berapa jumlah visa jamaah haji furodah yang diperoleh pihak swasta. Alasannya, hal itu tidak masuk dalam UU Haji, padahal ketiadaan data yang pasti dapat menyulitkan pemerintah ke depannya.
“Kalau kita resmikan (visa haji furodah dalam UU Haji) nanti bisa terdata di dalam sistem kita. Kalau mereka (swasta) tidak mau memberikan datanya, ya akan kena tegur,” kata Iskan.