IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) mulai berlaku sejak disahkan melalui sidang paripurna di DPR, Jakarta, Kamis (28/3). Sejak itu, UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji tidak lagi berlaku.
Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj mengapresiasi pengesahan RUU Haji dan Umrah menjadi undang-undang. Menurut dia, ada beberapa hal yang cukup menarik dari UU baru ini.
Misalnya, dalam Pasal 2 huruf a di beleid tersebut. Di dalamnya ditegaskan, penyelenggaraan ibadah haji dan umrah menempatkan asas syariah sebagai landasan utama.
Hal demikian, menurut dia, akan mempunyai konsekuensi positif dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah di Tanah Air. Nantinya, seluruh aspek penyelenggaraaan dua ibadah tersebut mesti menggunakan sistem syariah.
"Banknya harus bank syariah, akad atau perjanjian-perjanjiannya harus menggunakan akad syariah," ujar Mustolih Siradj saat berbincang dengan Ihram.co.id, Jumat (29/3).
Mustolih meneruskan, dengan adanya UU PIHU, pihak penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) dan haji khusus (PIHK) mesti memiliki dewan pengawas syariah tersendiri (DPS). Dewan itulah yang berfungsi menjamin kesyariahan suatu institusi penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.
"(Supaya) bebas riba, gharar dan sebagainya," sebut dia.
Adanya DPS itu sejalan pula dengan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Beleid tersebut secara mandatori menyatakan, perseroan yang menggunakan sistem syariah harus memiliki DPS.
Mustolih menjelaskan, selama ini aturan asas dan sistem syariah hanya diatur pada level peraturan menteri agama (PMA) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah. Daya ikatnya jelas tidak sekuat undang-undang.
"Dengan adanya DPS, akan menjadi nilai posiitif bagi PPIU dan PIHK sebagai perusahaan, bagi jemaah akan menjadi garansi jaminan dia tidak akan ditelantarkan dan tidak ditipu," kata dia menutup perbincangan.