Senin 01 Apr 2019 16:35 WIB

Kelemahan UU Haji dan Umrah Terbaru Menurut Komnas

UU Haji dan Umrah perlu menyertakan peran Komisi Pengawas Haji Indonesia

Rep: Ali Yusuf/ Red: Hasanul Rizqa
Mustolih Siradj Ketua Komnas Haji dan Umrah, Dosen Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Foto: Republika/Idealisa Masyrafina
Mustolih Siradj Ketua Komnas Haji dan Umrah, Dosen Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) menuai kritik dari pelbagai kalangan. Menurut Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj, beleid tersebut memiliki sejumlah kelemahan. Misalnya, tidak adanya klausul yang menegaskan pengawas penyelenggara ibadah haji.

"Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) dalam bagian penutup UU tersebut dihapus atau dibubarkan, diganti dengan sebagaimana termuat dalam ketentuan penutup UU PHU," ujar Mustolih Siradj saat dihubungi Ihram.co.id, Senin (1/4).

Baca Juga

Dalam aturan teranyar, pengawasan penyelenggaraan haji didelegasikan kepada DPR, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ketiganya mengurusi sektor eksternal. Adapun pada level internal diberikan kepada Pengawas Internal Pemerintah (PIP).

Bagaimanapun, lanjut Mustolih, keberadaan KPHI masih penting. Selama ini, kata dia, KPHI bagaikan "macan ompong" karena memiliki kewenangan yang terbatas. Padahal, fungsi lembaga pengawasan seperti KPHI penting karena pelaksanaan ibadah haji tidak bertumpu pada satu aspek saja, melainkan cukup kompleks. Indonesia sebagai negara penyumbang jamaah umrah dan haji terbesar, tegas dia, mesti memiliki lembaga khusus  yang secara komprehensif bertugas mengawasi, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan ibadah haji.

"Karena menyangkut keselamatan dan kenyamanan ratusan ribu orang dan implementasi anggaran triliunan rupiah. Hal ini (tiadanya KPHI di UU baru --Red) sangat disayangkan, seharusnya KPHI tetap dipertahankan dengan memperluas dan memperkuat tugas serta kewenangannya," katanya.

Menurut Mustolih, pelibatan DPR, BPK, DPD dan PIP justru membuka peluang benturan kepentingan dan setidaknya ego sektoral dari masing-masing lembaga tersebut. Ini merupakan kelemahan. Lebih lanjut, dia mempertanyakan, mengapa Ombudsman tidak dilibatkan juga, padahal penyelenggaraan haji merupakan kewajiban negara sebagai penyedia layanan publik. "Hasil pengawasan yang nantinya sebagai out put juga hanya akan memotret kepentingan Lembaga masing-masing," sebut Mustolih.

Meski begitu, Mustolih mengapresiasi UU PIHU. Sebab, aturan ini dinilainya lebih lengkap daripada aturan sebelumnya, yakni UU Nomor 13 Tahun 2008. "Pada bagian pertimbangan RUU Haji dinyatakan UU Nomor 13 Tahun 2008 sudah tidak kompatibel dengan dinamika perkembangan zaman dan banyak kelemahan dari aspek hukum," kata dosen Fakultas Hukum UIN Syarif Hidayatullah itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement