IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj berharap Kementerian Agama dan DPR berhati-hati dalam menetapkan sumber anggaran untuk pembiayaan tambahan kuota haji sebanyak 10 ribu jemaah. Pasalnya, lanjut dia, porsi sumber dana cenderung lebih besar dari APBN daripada kas Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Hal itu pun sudah disepakati pemerintah dan DPR beberapa waktu lalu.
Mustolih menuturkan, dana haji diatur secara limitatif dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Dia mengakui, sudah ada RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) yang sudah disahkan dalam sidang paripurna DPR, tetapi beleid itu hingga kini belum ditandatangani Presiden.
Adapun soal pengelolaan keuangan haji telah diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2014. Dalam Pasal 5 beleid tersebut ditegaskan, sumber utama penyelenggaraan ibadah haji ialah dari biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) yang disetorkan jamaah.
Sumber lainnya bisa berasal dari tambahan dana efisiensi pengelolaan dan dana abadi umat (DAU). Adapun sumber dana APBN, jelas dia, porsinya terbatas, yakni hanya untuk biaya petugas haji.
"Yang menjadi pertanyaan, kenapa kemudian sumbernya lebih besar dari APBN. Dalam pengelolaan keuangan haji harus hati-hati, karena kebijakan ini sifatnya di luar kebiasaaan, karena ada tambahan kuota itu," kata Mustolih Siradj saat dihubungi Ihram.co.id, Rabu (24/4) malam.
Ia menjelaskan, APBN bisa saja dipakai untuk membiayai petugas haji. Namun, hal-hal lain terkait haji menggunakan pembiayaan dari BPIH, dana efisiensi, dan lainnya. Misalnya, urusan hotel, penerbangan, katering, akomodasi, transportasi dan manasik bagi para jemaah.
Mustolih menekankan, sumber keuangan penyelenggaraan ibadah haji seyogianya tidak menyedot APBN terlalu besar. Dia mengaku khawatir bila masalah keuangan haji berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari. Di sisi lain, dia mengapresiasi pemerintah yang bermaksud memanfaatkan kuota tambahan itu untuk memangkas antrean calon jamaah haji.
"Jangan sampai porsi tambahan kuota jamaah justru menyedot APBN, nanti berpotensi ada pengelolaan keuangan yang diduga melanggar. Saya ingatkan menteri agama, DPR, BPKH, agar nanti tidak saling lempar tanggung jawab. APBN itu hanya supporting saja sifatnya," lanjutnya.
Terakhir, Mustolih mengakui tambahan kuota haji terasa dilematis. Di satu sisi, hal itu merupakan kabar gembira. Namun, di sisi lain, kebijakan yang terkesan mendadak ini menjadi tantangan bagi pemerintah.
Sebab, tambahan kuota haji dapat menggerus dana efisiensi atau dana kelola di BPKH. Dengan demikian, bisa mengganggu arus sirkulasi keuangan yang ada di badan tersebut.
"Akan tetapi, BPKH juga tidak bisa menolak begitu saja untuk mengeluarkan dana bagi tambahan kuota haji. Karena jamaah pada dasarnya telah menyetor biaya saat mereka mendaftar haji," tambahnya.
Dana yang Diperlukan
Dengan adanya tambahan kuota sebesar 10 ribu jamaah, pemerintah setidaknya membutuhkan biaya sebesar Rp 353 miliar.
Sebelumnya dalam rapat antara DPR dan Kementerian Agama (Kemenag) pada Selasa (23/4), muncul kesepakatan bahwa sumber pembiayaan untuk tambahan kuota haji itu berasal dari APBN melalui Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA-BUN), sebesar Rp 183.729.060.559.
Sementara, sisanya dari efisiensi pengadaan riyal Arab Saudi (SAR) oleh BPKH pada tahun ini sebesar Rp 65 miliar. Kemudian, realokasi efisiensi pengadaan akomodasi di Makkah sebesar Rp 50 miliar. Terakhir, efisiensi tambahan nilai manfaat BPKH sebesar Rp 55 miliar.
Ada pula usulan tambahan anggaran dari APBN Kemenag Tahun Anggaran (TA) 2019 sebesar Rp 6,8 miliar untuk memenuhi kebutuhan petugas haji tambahan.