IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Mulai 10 hingga 13 Dzulhijah, jamaah haji akan berada di Mina, kecuali mereka yang mengambil Nafar Awal (berangkat pada rombongan pertama yang meninggalkan Mina pada 12 Dzulhijah). Selama beberapa hari itu, seluruh jamaah melakukan mabit (bermalam/menginap) seraya memperbanyak ibadah dan takarub kepada Allah Yang Mahakuasa.
Tak kalah pentingnya, ada satu ritual yang statusnya wajib dilakukan setiap jamaah yang tidak berhalangan kondisi fisiknya. Aktivitas itu adalah melontar jumrah.
Ritual ini menjadi satu ibadah wajib bagi jamaah haji yang menguras fisik dan tak jarang menimbulkan risiko bagi keselamatan mereka. Melontar jumrah (ramyul jimaar) dimulai setelah matahari tergelincir waktu Zhuhur. Rentang masa diperbolehkannya melontar jumrah ini hingga tengah malam. Bagi jamaah haji Indonesia, sebaiknya mengikuti petunjuk maktab atau ketua rombongan.
Karena, mereka lebih tahu kapan waktu yang tepat dan aman bagi jamaah haji Indonesia yang secara umum bertubuh lebih kecil daripada bangsa lain. Jangan pernah hendak mengambil keutamaan ibadah (afdhaliyah), tapi tidak memikirkan keselamatan jiwa!
Abdullah bin Umar RA pernah ditanya seorang pria, “Kapankah sebaiknya aku melontar jumrah?” Abdullah menjawab, "Jika imam (pimpinanmu) melakukannya, ikutilah!” Orang itu masih mengejar, “Tapi, kapan waktunya?” Abdullah menjawab, “Dulu, kami melakukannya bila matahari zawal (sudah tergelincir).” (HR Bukhari 1746).
Dari hadis ini, Abdullah bin Umar RA hendak memberitahukan hal terpenting dalam pelaksanaan ibadah haji adalah mengikuti petunjuk imam (pemimpin rombongan), apalagi saat berada di Mina. Mengikuti petunjuk pimpinan rombongan amat diperlukan demi keselamatan. Adapun, tata cara jumrah seperti yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabatnya adalah:
Tertib dan berurutan
Jumrah dimulai dari Ula, Wustha, dan Aqabah. Hal ini harus dilakukan secara berurutan. Siapa yang melakukannya tanpa mengikuti aturan yang benar maka jumrahnya tidak sah.
Kerikil
Menggunakan batu kerikil (hisha). Batu yang diperkenankan adalah kerikil sebesar buku jari. Tidak boleh menggunakan batu besar, khawatir mencelakai orang lain. Jumlah batu yang diperlukan bagi mereka yang Nafar Awal adalah 49 batu sedangkan mereka yang Nafar Tsani memerlukan 70 batu.
Tujuh kali lontaran
Jamaah harus mengucap takbir setiap kali melontar. Jamaah pun harus melontar kerikil tujuh kali pada setiap jumrah. Mengucap takbir dan melontar kerikil ini seperti yang diriwayatkan Ibnu Umar RA pada hadis Bukhari 1751.
Kena sasaran
Batu kerikil harus tepat mengenai tugu jumrah dan masuk ke dalam lubang. Jamaah pun harus berdoa setiap kali menyelesaikan lontaran pada setiap jumrah.
Posisi tubuh
Melontar dengan memosisikan Mina ada di sebelah kanan dan Baitullah di sebelah kiri tubuh. Hal ini seperti terdapat dalam Sahih Bukhari 1748.