IHRAM.CO.ID, Oleh: Syahruddin El-Fikri dari Madinah, Arab Saudi
Banyak sahabat saya dari Madura, Jawa Timur. Baik yang sastrawan, penulis, bahkan ustaz. Dalam beberapa kesempatan, sahabat saya yang dari Madura, suka bercerita tentang perilaku dan gaya hidup ala orang Madura.
“Mereka pekerja yang ulet, dan penuh semangat. Bahkan, mereka juga terbiasa hidup keras. Karenanya, jangan heran kalau suara orang Madura itu keras alias tinggi melengking,” demikian Fathor Rahman, sahabat saya dari daerah pulau itu suatu kali berkata.
Gaya hidup itu terkadang mereka bawa hingga pergi merantau ke kampung atau daerah lain. Dan, umumnya, masyarakat pun memahami kebiasaan gaya hidup orang Madura. “Biasanya sudah maklum,” lanjutnya.
Mereka "petarung" ulung. Siap mempertaruhkan harga diri, bahkan nyawa sekalipun siap mereka korbankan. Tentu saja dalam hal kebenaran.
Mereka siap bekerja hingga larut malam. Mereka punya semangat tinggi. Tujuannya, tentu saja untuk masa depan mereka. Maka, begitu mendapatkan apa yang dicapai, mereka dapat membanggakan diri mereka di hadapan saudaranya yang lain di kampung halaman.
Mereka juga punya kebiasan unik. Mereka tidur di mana saja, bahkan berjalan tanpa alas kaki, mereka juga siap. Nah, kebiasaan unik ini terbawa hingga ke Tanah Suci.
Pelataran Masjid Nabawi yang begitu luas, dilapisi dengan marmer, selalu tampak bersih. Sebab, selalu ada petugas membersihkan semua kotoran yang hilir mudik menyapu lantai dengan mobil sapu. Karena itu, lantai di sana selalu bersih. Semuanya dilakukan demi kenyamanan jamaah beribadah di Masjid Nabawi.
Mengetahui hal ini, banyak jamaah yang melepas alas kakinya sebelum memasuki pelataran masjid. Saat disampaikan agar alas kakinya tetap dipakai, bukannya memasang kembali, ada saja yang langsung membungkusnya tanpa mengindahkan imbauan petugas.
“Masjid itu suci, lok pakek sandal amper masjid (jangan pakai sandal di masjid --Red). Jangan dikotori,” kata Mahfudz dalam logat Madura yang kental.
Saya bertemu dengannya di Madinah, Rabu (10/7) waktu Arab Saudi (WAS). Ia bersama istrinya melangkah santai menuju Masjid Nabawi. Ia tak mau ambil pusing dengan jamaah lain yang masih memakai alas kaki. Baginya, kesucian masjid harus dijaga.
Lain lagi dengan Sarti, jamaah asal Bangkalan Madura. Ia dan beberapa rekannya sesama jamaah asal Bangkalan menginap di Hotel Elaf Mishal Madinah, tepatnya di lantai 7. Sarti dan rekan-rekannya dengan santai duduk-duduk di koridor hotel menuju kamar jamaah lain. “Tedung e nyadek ngeh lift, adem (tidur di dekat lift ini, adem --Red),” katanya.
Koridor jalan ke kamar memang berlapis keramik. Namun, ia seolah tak memedulikan hal itu. Ia tetap saja bercengkerama ringan sambil tersenyum senang. Bahkan, ia leyeh-leyeh, tiduran di depan lift, berbaring miring dengan menegakkan tangan ke kepala. Santai sekali.
Ketika diberi tahu lantainya kotor, ia acuh tak acuh.
Begitu pula dengan Hasni, seorang jamaah laki-laki. Ia membuka bajunya di hadapan jamaah lain di depan lift lantai 7. Sementara rekan lainnya dengan enteng mengisap rokok, walau sudah ada peringatan larangan merokok di kamar hotel.
Mungkin karena cuaca Madinah yang sangat panas, Sarti maupun Hasni nekat saja melakukan hal itu. Ya, mungkin inilah bebas gaya ala orang Madura. Saat saya sampaikan hal ini kepada Rohman, ia pun tertawa terbahak-bahak. “Ya begitulah orang Madura,” katanya.
Tentu tidak semua orang Madura seperti itu. Banyak yang memahami dan mengikuti kebiasaan formalitas selama di Tanah Suci.