Senin 15 Jul 2019 09:13 WIB

Mengapa Jamaah Haji Bisa Wafat di Pesawat? Ini Penjelasannya

Jamaah haji diminta terbuka menjelaskan riwayat penyakit.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi jamaah haji turun dari pesawat.
Foto: Antara
Ilustrasi jamaah haji turun dari pesawat.

IHRAM.CO.ID,  JAKARTA— Dua jamaah haji Indonesia meninggal dunia yaitu Sumiyatun Sawi Krama dan Artapiah Armin, keduanya meninggal di pesawat akibat penyakit. Mengapa hal ini bisa terjadi?   

Menurut dokter spesialis kedokteran penerbangan, dr Itah Sri Utami, SpKP penumpang yang sedang sakit berisiko saat melakukan penerbangan. 

Baca Juga

"Berada dalam ketinggian pesawat dalam waktu lama akan mempengaruhi fungsi dari sistem tubuh," kata dr Itah kepada Republika.co.id melalui sambungan telepon, Senin (15/7). Itah saat ini tengah berada di Kantor Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Madinah. 

Itah menuturkan, salah satunya jamaah asal Kloter 2 Embarkasi Solo (SOC), Sumiyatun Sawi Kromo menghembuskan napas terakhir, itu pada Minggu (7/7) sekitar pukul 20.07 Waktu Arab Saudi (WAS), sekitar atau 50 menit sebelum mendarat. 

Menurut Itah, kabin pesawat di ketinggian telah diatur sedemikian rupa supaya mendekati kondisi seperti di darat, sehingga bisa ditoleransi oleh orang sehat. Akan, tetapi lain halnya ketika penumpang atau jamaah itu sedang memiliki risiko penyakit. 

Dia mengatakan, perbedaannya dengan di darat adalah kadar oksigen yang lebih rendah. Suhu dan kelembaban juga lebih rendah, tidak sama seperti keadaan sehari-hari di darat. Karena itu penumpang sakit perlu pemeriksaan laik terbang dan dukungan medis khusus, seperti oksigen, pendamping, dan obat tertentu.  

"Memang ada kasus-kasus (penyakit) yang memiliki risiko tinggi dalam penerbangan. Misalnya, asma, kurang darah (anemia), termasuk  kencing manis atau kadar gula darah yang tinggi juga punya risiko tersendiri," katanya. 

Untuk diketahui, kata Itah, Sumiyatun masuk asrama haji tanpa keluhan meskipun mengidap kencing manis. Namun setelah diperiksa dokter, kadar gulanya diketahui sangat tinggi, tapi dengan berbagai pertimbangan Sumiyatun akhirnya diperbolehkan terbang.    

Jadi, kata Itah, meskipun kondisinya jamaah itu tanpa keluhan dari pemeriksaan pertama dan kedua, tetap harus ada pemeriksaan ketiga untuk menetapkan jamaah haji siap terbangkan atau ditunda penerbangannya sampai tidak memiliki risiko penyakit.

"Kuncinya ada di pemeriksaan ketiga, harus diperketat untuk mengetahui betul kondisi jamaah yang akan berangkat," kata Itah.  

Itah memastikan, pemeriksaan ketiga itu penting karena dapat menentukan apakah jamaah yang sakit ini akan berisiko makin berat bahkan fatal jika dipaksakan diberangkatkan.   

Itah mencontohkan, bila sakit kencing manis, bisa diperkirakan sudah ada komplikasi ke pembuluh darah, mungkin juga ada yang mengalami kurang darah. Hal-hal ini akan diperiksa dan diobati dulu sebelum terbang. Ketika akan terbang, penumpang tersebut sudah disiapkan dengan tabung okisgen cadangan, misalnya.  

Pemeriksaan berisiko tinggi untuk terbang ini juga penting bagi tim kesehatan haji Indonesia (TKHI) sehingga mereka sudah siap ketika terjadi kejadian kegawatdaruratan dalam penerbangan. “Karena itu perlu edukasi kepada para TKHI dalam melakukan penanganan medis darurat dalam pesawat," katanya. 

Itah menghimbau jamaah haji selalu terbuka dan berterus terang terkait kondisi kesehatannya ketika pemeriksaan. Jika memang memiliki risiko penyakit, maka harus minum obat secara teratur.  

"Sebelum berangkat, jamaah juga dianjurkan untuk melakukan latihan fisik. Ini sangat membantu selama penerbangan dan saat melaksanakan ibadah haji," katanya

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement