IHRAM.CO.ID, MAKKAH -- Wajahnya teduh. Begitu kesan saya setelah memandang dan bersalaman dengan Syekh Hasan bin Abdul Hamid Bukhari, salah seorang imam Masjid al-Haram.
Suaranya juga terdengar lembut. Kesan yang dirasakan darinya sangat ramah. Awalnya, saya berpikir bertemu dengan seorang ulama di Makkah, Arab Saudi, penuh dengan kekakuan. Namun, hal itu tidak sama sekali saya rasakan ketika bertemu dengan Syekh Hasan.
Bahkan, ketika saya minta untuk selfie, dirinya dengan sangat ramah mengiyakannya. Hasil fotonya membuat saya cukup tercengang. Posenya penuh dengan senyum dengan gigi yang terlihat. Sementara saya, justru terlihat tegang dan cemberut. Saya akui cukup deg-degan ketika akan berfoto dengannya.
Syekh Hasan (kiri) saat berswafoto dengan Ihram.co.id (Republika/Muhammad Hafil)
Bagaimana tidak? Dia adalah seorang ulama besar. Bukan main-main jabatannya. Selain sebagai salah satu imam Masjid al-Haram, dia juga menjabat sebagai dekan di Fakultas Bahasa Arab, Universitas Umm Al Qura, Makkah. Gelarnya pun doktor.
Di Masjid al-Haram, dia juga menjabat sebagai kepala Idarah al-Muadzin atau sebuah unit yang beranggotakan 20 orang muazin. Dia juga kepala tim penyeleksi syekh-syekh yang menjadi muazin di Masjid al-Haram.
Pertemuan saya dengan dia terjadi di kampus Umm Al Qura, Ahad (21/7). Saat itu, saya bersama dengan beberapa teman dari Media Center Haji (MCH) Indonesia ingin meliput penutupan program pelatihan peningkatan bahasa Arab untuk 40 pengajar bahasa Arab dari Tanah Air dan Senegal.
Seperti biasa, "tabiat" jurnalis tidak terlalu mempedulikan aturan birokrasi untuk mewawancarai seseorang. Jika ada seorang narasumber, biasanya akan langsung dicegat--door stop--atau dimintai waktunya sebentar untuk berbincang-bincang.
Awalnya Syekh Hasan menolak dengan halus karena dia masih ada beberapa urusan. Dia pun sempat meminta wawancara dilakukan setelah acara penutupan program itu selesai.
Para peserta program pelatihan peningkatan bahasa Arab di Universitas Umm Al Qura berfoto dengan dekan Fakultas Bahasa Arab Universitas Umm Al Qura, Syekh Dr Hasan bin Abdul Hamid Bukhari, Ahad (21/7).
Akhirnya, beberapa orang jurnalis MCH memutuskan untuk tidak menunggu acara selesai. Karena, masih ada liputan di tempat lainnya. Saya pun ditanya oleh kepala seksi MCH apakah ingin ikut liputan di tempat lain atau menunggu acara ini selesai.
Saya dengan mantap menjawab akan menunggu acara ini hingga selesai. Sebab, saya ingin mewancarai Syekh Hasan.
Akhirnya, saya bersama tiga orang jurnalis lainnya memutuskan untuk menunggu Syekh Hasan hingga acara selesai. Kami menunggu sekitar 1,5 jam.
Setelah acara selesai, rupanya Syekh Hasan tak juga bisa langsung diwawancarai. Masih banyak guru-guru bahasa Arab dari Indonesia dan Senegal itu yang masih bercengkrama dengan Syekh Hasan.
Padahal, untuk wawancara doorstop itu, paling-paling kami hanya membutuhkan waktu sekitar dua hingga tiga menit. Kami hanya ingin menanyakan soal pesan syekh terhadap pelaksanaan haji tahun ini dan pesannya kepada jamaah haji Indonesia. Akhirnya, kami harus menunggu lagi.
Salah seorang stafnya menghampiri kami. Dia menyebut bahwa wawancara bisa dilakukan di lantai bawah. Pada titik ini, saya sudah berpikiran bahwa Syekh Hasan tak bersedia diwawancara. Saya berpikiran Syekh Hasan akan turun lewat pintu lainnya dan meninggalkan kami.
Kenapa saya bisa berpikiran seperti itu? Karena ini yang kerap menjadi pengalaman kami dari narasumber-narasumber kami di Tanah Air jika tak ingin diwawancarai doorstop oleh awak media.
Namun ternyata, kami dipanggil oleh staf tadi dan diajak masuk ke sebuah ruangan. Ternyata, itu adalah ruangan kerja Syekh Hasan. Kami pun dipersilakan duduk dan melakukan wawancara dengan cara yang lebih "terhormat", tidak perlu doorstop.
Kami pun melakukan wawancara dengan penuh ketenangan. Dan, Syekh Hasan menjawab pertanyaan kami dengan panjang lebar. Usai wawancara, kami pun dipersilakan untuk foto bersama Syekh. Tidak perlu lagi melakukan swafoto (selfie).
Sebenarnya, ini adalah pekerjaan kami memang seperti ini dalam mencari berita. Dan, polanya pun memang biasa. Melakukan wawancara secara doorstop ataupun tatap muka di ruang kerja narasumber.
Namun, karena ini narasumbernya adalah seorang ulama dan imam Masjid Al Haram pula, yang membuatnya istimewa bagi kami. Sehingga, kita berempat memang benar-benar menantikan momen ini sehingga memutuskan untuk menunggu syekh hingga selesai untuk melakukan wawancara.