Rabu 31 Jul 2019 19:36 WIB

Merindukan Berkhalwat Dengan Allah di Masjidil Haram

Berkhalwat dengan Allah sembari berdoa dan bertawaf di Ka'bah yang selalu dirindukan

Matahari tepat berada di atas ka'bah atau istiwa pada azan Zuhur di Masjidil Haram, Senin (14/7). Dengan posisi itu, obyek di sekitar Ka'bah tak terlihat bayangannya.
Foto: Republika/Muhammad Hafil
Matahari tepat berada di atas ka'bah atau istiwa pada azan Zuhur di Masjidil Haram, Senin (14/7). Dengan posisi itu, obyek di sekitar Ka'bah tak terlihat bayangannya.

Oleh: Uttiek M Panjiastuti, Traveler dan Penulis

Sub-ḥānallażī asrā bi'abdihī lailam minal-masjidil-ḥarāmi ilal-masjidil-aqṣallażī bāraknā ḥaulahụ linuriyahụ min āyātinā, innahụ huwas-samī'ul-baṣīr

Suara Imam terdengar sangat tartil dan indah saat membacakan ayat pertama QS. Al Isra. Hati saya tergetar.

Ayat ini merupakan salah satu favorit saya. Karena berisi tentang keutamaan Masjidil Aqsha yang diberkahi.

Saya pandangi Ka'bah yang ada di depan mata. Shalat tahajud, lalu dilanjutkan menunggu adzan hingga shalat Subuh ini rasanya lebih khusuk, karena Allah terasa sangat dekat.

Saya bersyukur sekali pagi ini bisa shalat Subuh di area Mathaf atau area tempat thawaf yang persis di sekeliling Ka'bah.

Awalnya saya ragu mengambil posisi shalat di sini, karena saat umrah akhir tahun lalu, area Mathaf tidak boleh digunakan untuk shaf perempuan. Semua perempuan harus shalat di Mushala Annisa atau area shalat khusus perempuan yang dibatasi dengan rak-rak Alquran. Sehingga sulit sekali bisa shalat sambil menatap Ka'bah tanpa penghalang.

Kalau tetap bandel mengambil posisi di area Mathaf, menjelang adzan, biasanya askar perempuan akan "mengusir" supaya pindah tempat ke Mushola Annisa.

Waktu itu sebagian area Mathaf sedang ditutup untuk pembangunan perluasan Masjidil Haram. Sehingga ada pengaturan yang ketat untuk kelancaran jamaah yang sedang thawaf. Syukurlah pembangunannya tahun ini sudah selesai dan area Mathaf boleh digunakan lagi untuk shaf perempuan.

Usai salam, sambil berdoa saya pandangi Multazam dari kejauhan. Terbayang beberapa jam lalu saya terombang-ambing bersama derasnya arus manusia untuk bisa menderaskan doa di dinding bawah pintu Ka'bah.

"Mb Uttiek masuk, Mb!" seru Ustadz Dedi yang membukakan jalan. Tadi saya thawaf sunah 2/3 malam tanpa Lambang, karena dia sedang sakit perut.

Bergegas saya mendekat. Karena sudah beberapa kali melakukannya, saya sudah paham "trik-nya" untuk bisa mendekat sampai menempel tembok Multazam.

Jangan melawan arus. Ikuti saja gelombang manusianya. Nanti kita akan terbawa mendekat. Suasana memang sedikit dramatis, karena banyak perempuan dan orangtua yang menangis. Namun kuatkan hati sambil terus memohon, "Allahumma yassir wa la tuassir -Ya Allah mudahkanlah, jangan dipersulit."

"Sini Ibu," tiba-tiba tangan saya ditarik seorang perempuan. Ruang di depan saya yang sebelumnya padat manusia mendadak kosong. Dua langkah, tubuh saya sudah menempel di Multazam. Saya telungkupkan kedua telapak tangan, merasai dinding suci tempat segala doa diijabah ini.

Lidah saya kelu kehilangan kata-kata. Semua doa yang sudah saya siapkan tiba-tiba lenyap dari kepala. Yang tersisa hanya rasa penyesalan yang mendalam atas segala dosa. Saya tergugu sampai sesak nafas.

"Wafatkan aku dalam keadaan husnul khotimah. Terima aku di surgaMu yaa Rabb," hanya itu doa yang sanggup saya ucapkan berulang-ulang. Semua pinta menjadi tak lagi penting, kecuali Allah ridha atas surgaNya.

Gemuruh suara manusia di belakang saya mendadak senyap. Hanya ada saya dan Allahu Rabbi. Saya rasakan hangat dekapanNya. "Aku hambamu yaa Rabb. Yang datang dengan segala dosa."

Entah berapa menit saya berada di momen transendental itu, hingga kesadaran menyeruak, saya harus mengucap doa, "Yaa Raddad, yaa Raddad, urdudna illa Baitul Haram -Wahai Sang Maha Pengembali kembalikan aku segera ke rumahMu ini-."

Doa itu selalu saya deraskan di tempat-tempat dan waktu mustajab. Malam ini terkumpul beberapa keutamaan: doa di Multazam ijabah, doa di 2/3 malam ijabah, doa mushafir ijabah, doa di hari Jumat ijabah. "Ahrijna yaa Allah -kabulkan yaa Allah."

Adalah Ustadz Dedi Hariadi Hidayat yang mengenalkan saya pada thawaf sunah 2/3 malam sekian tahun lalu. Setelah itu bagai candu yang tak bisa lepas. Setiap umrah saya selalu mengagendakannya, selelah apapun hari itu.

Usai thawaf, lalu berdoa di dinding Multazam dan shalat di Hijir Ismail, lalu tahajud sambil menatap Ka'bah di keheningan malam dan menanti kumandang adzan Subuh.

Subhanallah....

Tak ada kata-kata indah yang cukup untuk mengungkapkannya.

Allah terasa sangat dekat, memeluk hangat, sambil membisikkan janjinya, "Fadzkuruni adzkurkum -berdoalah niscaya aku kabulkan."

Masjidil Haram, 28/12/2018

Follow me on IG @uttiek.herlambang

Tulisan dan foto-foto ini telah dipublikasikan di www.uttiek.blogspot.com dan akun media sosial @uttiek_mpanjiastuti

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement