IHRAM.CO.ID, MAKKAH -- Oleh: Syahruddin El-Fikri, Jurnalis Republika.co.id
Dalam lima tahun terakhir, jumlah jamaah haji Indonesia yang wafat di Tanah Suci selama Menunaikan Ibadah haji sangat fluktuatif. Tahun 2019 ini hingga Ahad (18/8) pagi pukul 02.00 Waktu Arab Saudi (WAS), jumlah jamaah Indonesia yang wafat mencapai 224 orang.
Angka tersebut lebih kecil dibandingkan dengan jamaah yang wafat dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2014, jamaah haji yang wafat mencapai 278 orang. Kemudian pada 2015 naik hingga dua kali lipat mencapai 590 orang.
Pada tahun 2016, angka itu menurun juga dua kali lipat atau sebanyak 239 orang. Kemudian, pada 2017, jumlah jamaah yang wafat meningkat hingga 2,5 kali lipat, yakni sebanyak 634 orang. Pada 2018 lalu, jamaah yang meninggal dunia di Tanah Suci sebanyak 385 orang.
Faktor Kelelahan
Gejala umum yang menjadi faktor pemicu adalah akibat kelelahan. Beberapa jamaah haji Indonesia wafat akibat mengalami kelelahan yang teramat sangat sehingga menimbulkan efek berantai. Faktor lainnya adalah karena sakit jantung, paru-paru, dan lainnya.
Namun, apapun yang menjadi penyebab atau faktor pemicunya, kita semua tentu berharap jamaah haji yang wafat semakin berkurang dari tahun ke tahun. Ini juga harapan Menteri Agama serta seluruh rakyat Indonesia.
(Ilustrasi) Menteri Agama sekaligus Amirul Hajj Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin, saat menjenguk jamaah haji yang dirawat di Kantor Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Makkah, Sabtu (3/8). Lukman mengapresiasi kinerja petugas kesehatan yang dinilainya maksimal dalam menangani jamaah yang mengalami gangguan kesehatan.
Satu hal yang patut dicatat dari masalah ini adalah adanya faktor kelelahan yang tinggi. Contohnya, kasus Mina. Pada pelaksanaan lontar jumrah pada 11-14 Agustus 2019 atau 10-13 Dzulhijjah 1440, terdapat 23 jamaah haji yang wafat selama pelaksanaan proses melontar jumrah.
Waktu yang singkat, sementara aktivitas demikian padat, yakni pada 8 Dzulhijjah seluruh jamaah digiring menuju Arafah hingga tanggal 9 Dzulhijjah. Kemudian malam hari tanggal 10 Dzulhijjah, mereka diberangkatkan ke Muzdalifah untuk mabit atau bermalam di Muzdalifah sebentar.
Dan memasuki pergantian malam/dinihari, mereka sudah harus meninggalkan Muzdalifah untuk dibawa menuju Mina. Lalu pada waktu Ashar (untuk jamaah haji Indonesia), mereka sudah harus melontar jumrah aqabah.
Lalu, pada tanggal 11 Dzulhijjah mereka kembali bermalam di Mina hingga tanggal 12 Dzulhijjah untuk melontar jumrah bagi yang mengambil nafar awal dan hingga tanggal 13 Dzulhijjah bagi nafar tsani, sebelum pagi harinya mereka bertolak kembali ke Makkah.
Dari proses yang singkat ini, sementara waktu istirahat yang kurang, karena aktivitas sebelumnya yang demikian padat, maka faktor sangat tampak dialami jamaah. Tidak saja bagi yang sudah lanjut usia, tetapi juga yang muda. Apalagi bagi mereka yang mengalami dan membawa penyakit risiko tinggi (risti), maka kelelahan itu akan semakin memuncak.
Lebih dari itu, sebagian jamaah, terutama bagi gelombang pertama, cukup lama menunggu pelaksanaan puncak ibadah haji. Sebaliknya, bagi jamaah yang masuk pada gelombang kedua, setelah puncak haji mereka masih harus melaksanakan ibadah di Madinah sebelum kembali ke Tanah Air.
Memangkas Waktu Tinggal
Berkaitan dengan hal ini, tulisan ini mencoba untuk mengajak kita semua, termasuk pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Agama (Kemenag), kiranya bisa mengubah waktu tinggal di Arab Saudi.
Jika selama ini waktu mereka tinggal di Tanah Suci sekitar 40 hari, yakni 30 hari di Makkah, dan 8-9 hari di Madinah, 1-2 hari (pergi-pulang/PP) di perjalanan.
Mungkinkan jumlah ini dikurangi? Misalnya hanya 26-28 hari saja, seperti jamaah haji khusus?
Tentu sangat memungkinkan. Asal terpenuhi segala sesuatunya. Apa itu? Jadwal penerbangan.
“Jadwal flight ini yang harus diatur,” kata Dubes Indonesia untuk Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel, Sabtu (17/8) sore di Jeddah.
Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel (Kedua kanan)
"Kenapa? Karena belum tentu jadwal penerbangan memungkinkan. Apalagi, slot time di Bandara Jeddah sangat padat. Kalau tidak diatur dengan baik, maka dikhawatirkan akan berdampak buruk," lanjut dia.
Memang, andai waktu tinggal lebih singkat, tentu banyak hal yang bisa dikurangi atau dipangkas. Termasuk kemungkinan biaya perjalanan Ibadah haji (BPIH). Karena akomdasi berkurang konsumsi berkurang, dan transportasi di Tanah Suci juga berkurang. Logikanya, jumlah BPIH juga bisa mengecil, walaupun secara matematis, BPIH Indonesia ini sudah lebih kecil dibandingkan Negara-negara di ASEAN.
Dan jadwal penerbangan ini, rasanya sangat mungkin dibagi, antara Bandara Jeddah dan Madinah. Selama ini, Bandara Madinah melayani kedatangan jamaah haji gelombang pertama, dan Bandara Jeddah melayani kedatangan jamaah haji gelombang kedua.
Jika waktu lebih dipersingkat, tentu akan menjadi cukup rumit. Tetapi tidak ada salahnya untuk diupayakan. Meminimalkan risiko yang lebih besar, yakni soal kematian adalah lebih penting dan harus diutamakan. Mungkin saja ada pemikiran lain soal ini, dan itu sangat mungkin untuk didiskusikan dengan pihak-pihak terkait.
Saya menyadari, penyelenggaraan ibadah haji ini tidaklah mudah. Sangat rumit, karena melibatkan berbagai departemen dan instansi, serta perlu keseriusan dan penanganan komprehensif agar benar-benar mampu menyelenggarakan ibadah haji dengan baik.
Waktu tinggal yang lebih singkat, tentu juga akan mengurangi risiko kelelahan yang teramat sangat bagi jamaah haji. Sehingga, faktor pemicu munculnya kelelahan menjadi berkurang, dan risiko kematian pun juga semakin kecil. Semoga.