Senin 09 Sep 2019 05:03 WIB

Kisah Perantau Muslim Jelang Pemilu Di Norwegia

Hak pilih dalam Pemilu Norwegia adalah hak, dan bukan kewajiban.

Perantau Muslim asal Indonesia dengan pakain khas sehari-hari, kain sarung.
Foto: Savitri Icha Khairunnisa
Perantau Muslim asal Indonesia dengan pakain khas sehari-hari, kain sarung.

Oleh: Savitry Icha Khairunnisa, Perantau Indonesia Tinggal di Haugesund, Norwegia.

Waktu baru pulang mudik tiga minggu lalu, saya dan suami dapat "Valgkort". Kartu Pemilih. Saya cuma baca sekilas.

"Oh, mau ada Pemilu lagi," batin saya. Kartu Pemilih saya letakkan begitu saja. Sekarang entah di mana keberadaannya.

Di hari-hari selanjutnya, kotak surat kami selalu dipenuhi berbagai brosur dari partai ini dan itu. Isinya apalagi kalau bukan program (janji) kampanye plus foto-foto para kandidat wakil rakyat.

Oh ya, Norwegia adalah negara kerajaan dengan sistem parlementer. Kepala pemerintahannya adalah perdana menteri, yang biasanya adalah ketua partai pemenang pemilu. Perdana Menteri Norwegia yang sekarang adalah Erna Solberg dari Partai Kanan (Høyre). Nggak usah saya jabarkan gimana kebijakan partai pemerintah berkuasa ini, ya. Saya juga nggak terlalu mudeng.

Tapi intinya alhamdulillah sampai sekarang kami kaum pendatang dan minoritas sampai sekarang masih baik-baik saja. Nggak ada kebijakan yang merugikan kami, meski sentimen sebagian masyarakat terhadap kaum imigran (terutama pencari suaka dan pengungsi) semakin menguat.

Sebetulnya keadaannya kurang lebih sama dengan banyak negara Eropa. Imigran semakin membanjir, masyarakat lokal banyak yang merasa gerah dan mulai terancam dengan kehadiran kaum pendatang ini. Tapi nggak semua, sih. Yang baik dan ramah pada pendatang masih lebih banyak. Termasuk pemerintahnya.

Jadi pemilu di Norwegia diadakan setiap empat tahun. Meski perdana menteri berasal dari Partai Kanan, walikota Haugesund berasal dari Partai Pekerja (Arbeiderpartiet). Ada beberapa partai politik yang prominent dan punya perwakilan di Parlemen (Stortinget) di Norwegia. Selain Høyre dan Arbeiderpartiet, ada juga Frp (Fremskrittspartiet / Partai Progres), Miljøpartiet de Grønne (Partai Hijau), Kristelig Folkeparti (Partai Kristen), Venstre (Partai Kiri), Rødt (Partai Merah), Sp (Senterpartiet), dan SV (Sosialistisk Venstreparti).

Ada juga partai-partai yang hanya punya perwakilan di daerah, seperti DiN (Demokratene i Norge), Kystpartiet, Partiet de Kristne, dan Pensjonispartiet (Partai Para Pensiunan).

Ada lagi partai-partai kecil yang nggak punya perwakilan di parlemen maupun di Pemda, seperti NKP (Partai Komunis), Samfunnspartiet (Partai sosial kemasyarakatan), Helsepartiet (Partai Kesehatan), Feministisk Initiativ, Lib (Partai Liberal), sampai Pirat Partiet (Partai para hacker di bidang IT). 
Belum lagi puluhan partai independen di tiap kommune (kota / kabupaten) dan fylke (provinsi).

Puyeng? Saya saja yang sudah sepuluh tahun di sini masih puyeng juga.
 Untuk negara sekecil Norwegia dengan penduduk yang hanya lima jutaan jiwa, jumlah partai politiknya termasuk sangat banyak. Norwegia memang negara sosialis yang sangat demokratis. Partai apa saja boleh berdiri. Tapi soal keterwakilan di parlemen, itu urusan lain lagi. Tentu syaratnya lebih kompleks.

Kembali ke soal pemilu. Ini kali kedua kami dapat undangan untuk memilih. Sebagai pemegang status permanent residents, saya dan suami memang punya hak pilih untuk level pilkada. 
Pemerintah sekarang sepertinya memang semakin menggalakkan partisipasi para pemilih dari kalangan pendatang seperti kami. Menurut data dari Direktorat Pemilu Norwegia, pemilih dari kalangan pendatang di pemilu 2015 adalah sebanyak 40% dari keseluruhan pendatang yang punya hak pilih. 


 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement