IHRAM.CO.ID,JAKARTA -- Praktisi hukum sekaligus pengacara Bilal Rehman Fachrudin menganlisis soal keputusan hakim atas kasus First Travel. Terutama, jika dikaitkan dalam sistem hukum di Indonesia.
Menurut Bilal, mengingat hakim memutuskan perkara tersebut mengacu kepada Pasal 39 KUHP juncto Pasal 46 KUHAP, yang mengatakan barang-barang bukti tersebut dirampas untuk Negara.
"Ya pastinya dalam perkara ini secara aturan sudah benar, tetapi secara keadilan sangat miris karena uang tersebut bukan aset negara yang dirugikan, tetapi masyarakat yang tertipu oleh perusahaan terdakwa," kata Bilal Rehman melalui keterangan tertulisnya yang diterima Republika, Jumat (29/11).
Dia menambahkan, titik lemah putusan tersebut ada pada sistem hukum Indonesia. Karena, Indonesia menganut sistem hukum Civil Law (Eropa Kontinental). Yaitu sistem hukum yang berlaku di negara-negara bekas daerah jajahan Belanda.
Oleh karenanya, Indonesia berdasar asas konkordansi berlakulah Civil Law. Di dalam sistem ini terdapat tiga ciri khas sistem hukum, yaitu hukum itu adalah yang dikofikasikan, hakim tidak terikat sistem preseden (doktrin stare decicis), dan hakim berpengaruh besar mengarahkan dan memutuskan perkara (inkuisitorial).
Dalam sistem inilah, imbuh dia, hakim terikat undang-undang dalam memutuskan perkara yang ditanganinya. Hal ini berarti kepastian hukum hanya berupa bentuk dan sifatnya tertulis.
"Kedudukan hakim sangatlah sentral, karena hakim memeriksa langsung materi kasus yang ditangani, menentukan bersalah dan tidaknya terdakwa atau pihak yang sedang berperkara, sekaligus menerapakan hukumannya," katanya.
"Untuk itu, maka tidak dikenal juri di dalam sistem ini," tambah Bilal Rehman.
Hal tersebut berbeda dengan sistem Common Law (Anglo Saxon), sistem yang berlaku di Inggris dan negara-negara bekas daerah jajahannya.
Di dalam sistem hukum ini terdapat tiga karakteristik, yaitu yurisprudensi sebagai sumber hukum utama. Dianutnya sistem preseden (doktrin stare decicis) dan terdapatnya adversary system dalam peradilannya.
Dengan sistem ini, maka hukum yang berlaku adalah hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan yang berkembang melalui putusan-putusan pengadilan.
Hakim menggunakan stare decicis atau keputusan hakim terdahulu, untuk perkara yang sejenis sebagai dasar pembenaran keputusan.
"Kedudukan hakim terbatas memeriksa dan memutuskan hukumnya. Sementara juri yang memeriksa kasus untuk dapat menentukan dan memutuskan bersalah dan tidaknya terdakwa atau pihak yang berperkara," katanya.
Menurutnya, keterlibatan juri menunjukkan bahwa keadilan tidak bergantung sepenuhnya kepada lembaga peradilan, tetapi menjadi bagian integral kehadiran masyarakat dalam proses penegakannya.
"Kita sudah sangat tertingal karena terpaku dengan aturan tertulis, yaitu memutuskan perkara pukul rata dengan aturan di Undang-Undang yang ada saja, sedangkan zaman sudah berkembang melalui pembaruan teknologi," kata Bilal Rehman.
Akibatnya, lie detector, dan penemuan-penemuan baru, tidak dapat digunakan dalam sistem hukum yang kita anut saat ini. Hanya berpatokan kepada aturan yang tertulis saja, makanya sisten hukumnya agak tertingal.
Sedangkan ke depannya kejahatan atau bisa saja terjadi lewat hal-hal baru yang belum dicantumkan dalam Undang-Undang. Nantinya, menurut dia, Hakim di Indonesia harus memvonis suatu kasus dengan memaksa aturan dalam pasal yang tertuang di Undang-Undang yang ada saja saat ini.
Bilal mengambil contoh Bom Bali jilid Satu, di mana saat itu divonis dengan undang-undang KUHP karena Lex specialis derogat legi generali (asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
Karena Undang Undang Terorismenya belum dibuat, dan untuk memutuskan perkara kita menganut Asas Non-retroaktif (Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut).
"Jadi, secara umum Undang-Undang bersifat non-retroaktif, yaitu tidak boleh berlaku secara surut," kata Bilal Rehman.
Untuk perkara First Travel, menurut dia, putusan Hakim di Mahkamah Agung diputus berdasarkan aturan Undang-Undang, jika dicermati Hakimnya seperti sangat berhati-hati tidak mau membuat terobosan, "Ya mungkin takut menjadi preseden buruk untuk perkara-perkara lain," katanya.
"Saya pribadi sebagai seorang praktisi hukum sangat sedih atas putusan tersebut, walau putusan yang ditetapkan oleh Majelis Hakim tentang aset First Travel tidak menyalahi, baik secara aturan maupun etik.Tetapi fungsi hukum dan pengadilan adalah keadilan itu sendiri, " imbuh Bilal Rehman, sembari melempar pertanyaan retoris, "Sekarang saya tanya, adilkah aset-aset tersebut yang notabane bukan dari negara harus dibalikan kepada negara, kan jawabannya tidak".
Oleh karena itu, Bilal menyarankan sebaiknya dan seadilnya Hakim dalam memutus perkara aset First Travel, menurut Bilal Rehman, negara harus membuat Komisi Ganti Rugi, untuk mengurus aset aset First Travel agar kembali ke para jamaah yang sudah membayar dan tertipu.
"Komisi tersebut kan bisa memformulasi kira-kira dalam bentuk apa pengembalian kerugian. Aset-aset tersebut bisa dilelang dan dikembalikan kepada jamaah yang notabene adalah hak mereka," katanya.
Berapapun jumlahnya, keadilan harus diberikan kepada korbannya, karena itu hak mereka. Walau dalam kenyataan di Mahkamah Agung tidak berjalan seperti itu.
"Semoga di langkah upaya hukum terakhir, yaitu PK (Peninjauan Kembali) terhadap perkara ini Pak Presiden Jokowi merestui keinginan jamaah agar aset tersebut dibalikkan kepada mereka (korban) yang berhak atas aset tersebut," pungkasnya.