IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat umrah dan haji Mahfudz Djelani menilai pelayanan penyelenggaraan ibadah haji 2019 berada di angka 70 persen. Angka ini berada di bawah indeks kepuasan pelayanan haji di Indonesia yang dikeluarkan Balitbang Diklat Kemenag, yakni 88,44 persen.
"Sebetulnya dengan pelaksanaan haji sudah sekian puluh tahun, nilainya harusnya sudah 100 persen. Saya pribadi melihat untuk pelayanan nilainya masih 70," ujar Mahufdz saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (5/12).
Ia juga mengusulkan agar penilaian pelayanan haji lebih adil dan jujur, jamaah bisa diminta mendokumentasikan pelayanan dan fasilitas yang didapat, mulai dari makanan, akomodasi, transportasi, hingga pelayanan umum.
Mahfudz menyebut hingga kini yang masih menjadi catatan dari pelaksanaan haji umumnya perihal jarak antara hotel dengan masjid. Jamaah pergi ke Arab Saudi ingin shalat di Masjid al-Haram atau Masjid Nabawi.
Tapi karena jarak yang jauh, terkadang mereka memilih tinggal di masjid sampai jadwal shalat berikutnya. Jamaah bisa saja kembali ke hotel usai melaksanakan shalat isya dan makanan sudah tidak tersedia atau basi. Kondisi seperti ini bisa mempengaruhi kondisi kesehatan mereka, bahkan dalam kondisi ekstrem menyebabkan kematian.
"Kalau jumlah jamaah yang meninggal masih di atas angka dua hingga tiga persen, ini masih terhitung besar. Ini perlu menjadi perhatian dari Kemenag," ucapnya.
Mahfudz menekankan kunci pelayanan ada di penginapan, jarak antara masjid dan hotel. Baru kemudian perihal makanan. Jangan sampai jamaah kehabisan makanan atau bahkan basi.
Untuk masalah kondisi kesehatan jamaah, ia menyebut hal ini bukan hanya tugas dan kewajiban Kemenag tapi juga Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Filter pertama jamaah dinyatakan sehat atau tidak untuk menjalankan ibadah haji ada di kemenkes.
Ia menyadari dengan wilayah Indonesia yang luas serta antrean panjang haji membuat keinginan umat muslim Indonesia untuk bisa menunaikan rukun islam yang kelima sangat menggebu-gebu. Namun, hal ini bukan menjadi alasan untuk meloloskan jamaah yang tidak sehat.
"Jangan memaksakan calon jamaah yang tidak sehat. Haji ini tidak wajib. Haji ini jika mampu, yakni sehat kondisi fisik dan mental juga memiliki harta yang cukup," ujarnya.
Terkait inovasi yang sudah dilakukan kemenag untuk pelaksanaan haji 2019, Mahfudz mengapresiasi usaha untuk menerapkan sistem zonasi. Dengan adanya zonasi, masyarakat yang satu daerah bisa berkumpul dan merasa lebih nyaman. Keberangkatan dan kepulangan mereka juga tidak memakan waktu maupun tenaga.
Terakhir, Mahfudz memberi saran agar pelaksanaan tender katering dan penginapan dilakukan di Indonesia. Cara ini bisa membuat transparansi dan keterbukaan lebih jelas antara pemerintah dan pemilik usaha. Indonesia dengan jumlah jamaah terbesar seharusnya bisa menjadi daya tarik dan membuat pemilik usaha mau melakukan tender langsung di Tanah Air.
"Kenapa tender harus ke Arab Saudi? Mereka bisa kok ke Indonesia asal diundang terutama oleh Menteri Agama. Kami dari asosiasi penyelenggara haji dan umrah, beberapa kali melakukan pameran. Mereka juga sering ke Indonesia untuk menghadiri pameran itu," ucap Mahfudz.