IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Pengacara korban penipuan First Travel, Pitra Romadoni Nasution, mengatakan, ada dua sifat kerugian konstitusi yang ia lihat dari Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP dalam putusan First Travel. Dua sifat itu, yakni faktual dan potensial.
"Kerugiannya itu bersifat faktual dan potensial. Potensial itu kita sebagai advokat wajib menguji ini karena ditakutkan kemudian hari bakal ada putusan-putusan yang menerapkan pasal tersebut, merampas aset korban tindak pidana," jelas Pitra usai sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (10/12).
Karena itu, ia meminta MK untuk mempertegas frasa dalan pasal-pasal tersebut. Salah satunya yang terkait Pasal 39 KUHP, yakni boleh hak milik korban tindak pidana dirampas kepada negara sepanjang hal tersebut tidak merugikan korban tersebut. Menurutnya, perampasan hak milik korban tidak boleh dilakukan karena ada Pasal 28 A UUD 1945.
"Dalam penerapan pasal tersebut kita khawatir bakal ada putusan-putusan seperti ini lagi. Kita ambil contoh seperti putusan kasus First Travel tersebut agar dipertegas lagi pasal penerapan dalan kasus First Travel, yakni Pasal 39 KUHP dan 46 KUHAP," katanya.
MK meminta para pemohon uji materi Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP untuk memikirkan konsekuensi dari putusan MK jika gugatan mereka dikabulkan. Para pemohon diminta untuk memperbaiki sejumlah hal yang ada dalam berkas permohonan mereka.
"Jadi Pasal 39 KUHP Anda menambahkan dikembalikan kepada korban, sekarang bayangkan, kalau dikembalikan kepada korban, dalam kasus konkret contohnya yang sudah ada adalah di First Travel itu," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang pendahuluan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (10/12).
Arief meminta pemohon, Pitra Romadoni dan kawan-kawan, memikirkan lebih lanjut permintaan mereka untuk penambahan frasa "dikembalikan kepada korban" pada Pasal 39 KUHP ayat (1). Mereka diminta untuk mempertimbangkan kesulitan dalam pengeksekusian pengembalian aset tersebut kepada para korban dengan kondisi yang ada.
Beberapa kondisi yang perlu dilihat, yakni korban First Travel yang begitu banyak dan aset yang tidak sama jumlahnya dengan uang yang sudah dibayarkan oleh seluruh korban. Hakim Konstitusi juga menyinggung soal maksud dari perampasan aset orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah untuk kepentingan publik yang dimohonkan oleh para pemohon.
"Anda menambah untuk kepentingan publik itu siapa atau setelah dirampas negara, kemudian negara menyerahkan untuk kepentingan zakat misalnya, untuk membangun masjid itu sudah cukup tapi tidak dikembalikan kepada korban atau bagaimana. Ini harus Anda uraikan betul secara jelas," kata Arief.
Menurut Hakim Konstitusi, para pemohon juga harus memikirkan lebih jauh lagi tentang implikasi dari putusan MK nantinya karena putusan MK akan berlaku bagi kasus-kasus lain, tidak hanya kasus First Travel saja. Arief mengatakan, para pemohon mengajukan uji materi kepada MK karena merasa ada ketidakadilan akibat peraturan itu. Para pemohon harus memikirkan dengan betul tentang hal tersebut.
"Itu komplikasi-komplikasi yang harus Anda pikirkan sehingga apa yang Anda mau itu betul-betul memenuhi rasa keadilan dan itu bisa dilaksanakan, karena kalau tidak kemudian susah," jelas Arief.