Kamis 12 Mar 2020 07:23 WIB

Nabi Muhammad SAW dan Umrah Qadha

Nabi Muhammad SAW memanggil umat Islam melakukan umrah qadha.

Ilustrasi Ibadah Umrah(Antara/Kuwadi)
Foto: Antara/Kuwadi
Ilustrasi Ibadah Umrah(Antara/Kuwadi)

REPUBLIKA.CO.ID, Setelah berlakunya isi Perjanjian Hudaibiyah, Nabi Muhammad SAW dan dan para sahabat sudah dapat melaksanakan isi perjanjian dengan pihak Quraisy itu guna memasuki Makkah dan berziarah ke Ka'bah. 

Atas dasar itulah, Rasulullah SAW kemudian memanggil kaum Muslimin agar bersiap-siap untuk berangkat melakukan umratul qadha (umrah pengganti) yang sebelumnya terhalang.

Kaum Muslimin menyambut panggilan itu. Ada di antara kaum Muhajirin yang sudah tujuh tahun meninggalkan Makkah dan kaum Ansar yang memang sudah punya hubungan dagang dengan Makkah. Mereka sudah rindu sekali hendak berziarah ke Ka'bah. Oleh karena itu, anggota rombongan tersebut telah bertambah 2.000 orang dari 1.400 orang pada tahun yang lalu. 

Sesuai dengan isi Perjanjian Hudaibiyah, tidak seorang pun dari mereka dibolehkan membawa senjata selain pedang tersarung. Namun, Rasulullah masih selalu khawatir akan adanya pengkhianatan.

Seratus orang pasukan berkuda di bawah komando Muhammad bin Maslamah disiapkan berangkat lebih dahulu dengan ketentuan jangan melampaui Makkah. Bila sampai di Marr'uz Zahran, mereka diminta menyusur ke sebuah wadi tidak jauh dari sana.

Kaum Muslimin berangkat dari Madinah dengan hati penuh damba hendak memasuki Ummul Qura (Makkah) dan berthawaf di Baitullah. Setiap Muhajirin menunggu ingin melihat daerah tempat ia dilahirkan, ingin melihat rumah tempat ia dibesarkan, serta menemui teman-teman yang ditinggalkan.

Mereka ingin menghirup udara harum tanah airnya yang suci itu, dengan penuh rasa hormat dan syahdu ingin menyentuh tanah kudus yang penuh berkah itu. Tanah yang telah melahirkan Rasul dan tempat wahyu pertama kali diturunkan.

Orang-orang yang sudah pernah dirintangi hendak menunaikan kewajiban suci itu berangkat dengan penuh kegembiraan akan memasuki Makkah dalam keadaan aman, dengan bercukur rambut tanpa merasa takut lagi.

Ketika Quraisy mengetahui kedatangan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, mereka segera keluar dari Makkah, sesuai dengan bunyi Perjanjian Hudaibiyah. Mereka pergi ke bukit-bukit terdekat dan memasang kemah di tempat tersebut.

Ada pula yang berteduh di bawah-bawah pohon. Dari atas bukit Abu Qubais dan dari atas Hira, atau dari semua ketinggian yang dapat langsung tembus Makkah, orang-orang Quraiys hendak melihat kawan-kawannya yang dahulu terusir.

Kaum Muslimin mendatangi Makkah dari arah utara. Abdullah bin Rawahah saat itu memegang tali kekang al-Qashwa' (unta yang ditunggangi Rasulullah), sedangkan para sahabat terkemuka lainnya berada di sekeliling Nabi SAW. 

Barisan yang berjalan di belakang mereka itu terdiri atas orang-orang yang berjalan kaki dan yang duduk di atas unta. Begitu Rumah Suci (Ka'bah) terlihat di hadapan mereka, serentak kaum Muslimin menggemakan kalimat talbiyah, "Labbaika, Allahumma labbaika!" Dengan hati dan jiwa tertuju semata-mata kepada Allah Yang Maha Agung. 

Rasulullah kemudian menyelubungkan dan menyandangkan kain jubahnya di badan dengan membiarkan lengan kanan terbuka sambil berdoa, "Ya Allah, berikanlah rahmat kepada orang-orang yang hari ini telah memperlihatkan kemampuan dirinya."

Kemudian, beliau menyentuh sudut Hajar Aswad (batu hitam) dan berlari-lari kecil (tawaf) yang diikuti para sahabat dan kaum Muslimin yang lain. Pada saat bersamaan, pihak Quraisy menyaksikan semua itu dari atas bukit Abu Qubais. Pemandangan ini sangat memesonakan mereka. Tadinya orang bicara tentang Rasulullah dan para sahabatnya bahwa mereka berada dalam kesulitan dan kepayahan. Namun, apa yang mereka saksikan kini ternyata menghapus segala anggapan tentang kelemahan beliau.

Selesai bertawaf mengelilingi Ka'bah, Rasulullah memimpin mereka berpindah ke Bukit Shafa dan Marwa yang dilalui dari atas kendaraannya sebanyak tujuh kali, seperti halnya orang Arab dahulu. Kemudian, mereka menyembelih ternak kurban dan bercukur. Dengan demikian, selesailah ibadah umrah tersebut.

Keesokan harinya Rasulullah memasuki Ka'bah dan tinggal di sana hingga waktu Zhuhur. Pada waktu itu berhala-berhala masih banyak memenuhi tempat tersebut. Meskipun begitu, Bilal naik ke atap Ka'bah, lalu menyerukan azan shalat Zhuhur. Kemudian, Rasulullah bertindak sebagai imam, memimpin shalat 2.000 kaum Muslimin di Rumah Suci itu. Selama tujuh tahun sebelumnya, mereka terhalang melakukan shalat di tempat itu.

Kaum Muslimin tinggal di Makkah selama tiga hari sebagaimana telah ditentukan dalam Perjanjian Hudaibiyah, sesudah kota itu dikosongkan dari penduduk. Selama tinggal di sana, kaum Muslimin tidak mengalami sesuatu gangguan. Kalangan Muhajirin menggunakan kesempatan menengok rumah-rumah mereka dan mengajak pula para sahabat dari kalangan Ansar. 

Setiap hari kaum Muslimin menjalankan kewajiban kepada Allah dengan melakukan shalat dan menghilangkan sikap tinggi hati. Yang kuat membimbing yang lemah, yang kaya membantu yang miskin. Nabi bertindak sebagai seorang ayah di tengah-tengah, seorang ayah yang penuh cinta dan dicintai. 

Sementara itu, orang-orang Quraisy dan penduduk Makkah lainnya menyaksikan sendiri pemandangan yang luar biasa dalam sejarah itu. Mereka melihat orang-orang dengan akhlak yang demikian rupa—tidak minum minuman keras, tidak melakukan perbuatan maksiat, serta tidak mudah tergoda oleh makanan dan minuman. 

Kehidupan duniawi tidak sampai memengaruhi mereka. Mereka tidak melanggar apa yang dilarang. Mereka menjalankan apa yang diperintahkan Allah. Alangkah besarnya pengaruh yang ditinggalkan oleh pemandangan demikian itu, yang sebenarnya telah mengangkat martabat umat manusia ke tingkat yang paling tinggi.

Tidak terlalu sulit orang menilai kiranya bila sudah mengetahui bahwa beberapa bulan kemudian Rasulullah telah kembali lagi dan dapat membebaskan Makkah dengan kekuatan sebanyak 10 ribu Muslimin.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement