REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof HM Baharun
Salah satu hikmah yang mendasar dari ibadah haji adalah persaudaraan atau ukhuwah. Ketika semua umat Islam berkumpul di Padang Arafah, jamaah yang datang dari segala penjuru dunia itu terdiri atas berbagai bangsa, warna kulit, dan status yang berbeda-beda. Namun, mereka melebur di satu tempat dengan kain yang rata-rata berwarna sama-ihram putih-untuk merenungi diri dengan doa-doa dalam kebersamaan.
Jamaah berinteraksi satu dengan lainnya sembari bertukar informasi, saling berkomunikasi, dan bersilaturahim. Pada saat-saat tertentu, mereka tolong-menolong menyelesaikan masalah untuk kepentingan bersama: melaksanakan manasik bersama, shalat berjamaah, makan dan minum bersama, dengan tujuan yang sama pula.
Labbaik Allahumma Labbaik, memenuhi undangan Allah sebagai tamu-Nya yang istimewa (dhuyufurrahman).
Dalam suka dan duka perjalanan haji, beragam rintangan dan onak duri mungkin dialami setiap jamaah, yang dalam kebersamaan dan tolong-menolong sesamanya itu direspons dengan kesabaran.
Suatu pemandangan alam mahsyar yang divisualisasikan dalam drama kolosal wukuf (berhenti sejenak untuk merefleksikan diri bersama jamaah haji yang lain) terasa pada puncak ritual haji (Hajju Arafah) ini.
Kebersamaan dalam haji inilah momentum yang tepat untuk merajut persaudaraan universal (ukhuwah Islamiyah). Ukhuwah berasal dari kosakata akha - ya'khu - ukhuwwah. Kata ini dengan berbagai derivasinya banyak sekali terdapat di dalam Alquran, baik dalam arti saudara kandung maupun dalam arti saudara lain.
Yang berkaitan dengan ukhuwah ini terdapat sekitar 80 ayat dalam berbagai surah. Pada Alquran surah al-Hujurat [49] ayat 10, misalnya, dinyatakan bahwa antara sesama mukmin adalah saudara.
Makna ukhuwah kemudian dijelaskan oleh Rasul SAW dalam beberapa sabdanya, di antaranya dengan menggunakan analogi yang mudah dipahami, "Al-Mukmin li al-Mukmin ka al-Bunyan yasyuddu ba'dhuhu ba'dlan." (Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya itu bagaikan beton bangunan yang saling menguatkan satu dengan lainnya).
Rasulullah SAW telah meletakkan batu bata ukhuwah ini dengan susah payah sejak setelah hijrah ke Madinah. Para sahabat dipersaudarakan, antara Muhajirun dan Anshar. Di tengah Muhajirun dan Anshar sendiri, kemudian di antara individual para sahabat.
Untuk mempererat persaudaraan yang hakiki, Nabi mengawini putri sahabat dan beliau pun mengawinkan putri-putrinya dengan para sahabat dekat, baik dari bani Hasyim (suku Nabi sendiri) maupun dari bani Umayah. Begitulah persaudaran ini terpelihara sampai pada masa berikutnya.
Spirit ukhuwah yang hakiki yang telah diteladankan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya pada 622 Hijriyaah ini merupakan fenomena luhur yang diabadikan oleh Alquran, misalnya, dalam surah Al-Hasyr [59] ayat 9.
Dengan haji ini mestinya kita konkretkan ukhuwah yang sejati. Boleh jadi dalam kebersamaan itu ada perbedaan, tetapi kita sebagai umat yang satu harus satu dalam keyakinan akidah.