REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Pergi berhaji dari Nusantara ke Mekkah pada abad 18 jelas perkara tak mudah. Dan lazimnya dilakukan oleh orang tertentu, yang punya iman tinggi dan orang yang mampu secara lahir dan batin.
Salah satu kisahnya adalah pada sosok seseorang yang bernama Jamauldin al-Jawi (Jawi di sini dinisbatkan bukan dengan Jawa, tapi wilayah Nusantara, yakni Aceh). Dia memang berasal dari Samudera Pasai. Kisah ini disebut oleh penulis Henri Lambret-Choir dengan mengutip Van Ronkel ada dalam kitab Lubab ak-kitabiyah.
Dalam kitab itu dikisahkan soal kepulangan sang tokoh dari Mekkah. Sebelum ke Makkah di naik perahu hingga Jizan (Yaman). Setelah naik ke darat dia sembahyang. Akibat terlalu khusyuk dia kemudian tertinggal. Dia kemudian berjalan di bawah terik matahari menuju sebuah lembah. Dia berjalan kaki selama tiga hari, hingga kemudian datang dua orang yang menolongnya dan menaikannya ke atas unta sampai ke Barafi, sebuah kota di Yaman.
Di Yaman dia mukim beberapa lama dengan mengajar ilmu fiqh ke penduduk. Di situlah ia menyebut dirinya sebagai ‘Al Jawi’. Setelah itu di pergi ke negeri yang disebut Saifrus Ibn Al ‘Awan’ dan mengajar di situ selama satu bulan.
Selanjutnya Jamaluddin pergi ke Adan untuk mengajar ‘nazam’ (puisi), Lalu ke Nu’man tempat tinggal seorang pahlawan yang terkenal. Setelah itu ke kota Basrah di mana dia berhadap dengan orang jahat. Lalu naik perahu ke Mesir yang katanya bertemu dengan banyak orang kafir. Dari Mesir kemudian ke Aceh.
Setelah tiba di Aceh dia menghadap raja yang masih merupakan keturunan nabi. Setelah itu berziarah ke makam nenek moyanya. Lalu ke Pidir untuk mengunjungi saudaranya. Setelah itu baru ke Pasai. Di sana juga menemui raja.
Dan setelah pergi mengajar agama di berbagai tempat di Aceh. Dia juga memasuki hutan-hutan yang menjadi tempat tinggal orang Batak. Dan dia mengajar tentang Islam di sana.