REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Pada zaman dahulu bulan Ramadhan bagi para haji adalah bulan impian. Selain soal ibadah puasa dalam rukun Islam, bagi para jamaah haji kala itu adalah waktu-waktu yang sangat nikmat.
Mengapa? Ini karena saat itulah mereka sudah sampai ke Makkah setelah melalui perjalanan panjang yang berbahaya. Mereka telah naik kapal laut dan tiba di pelabuhan Jeddah, setelah melalui rute panjang mengarungi samudera luas, dari Nusantara menuju pelabuhan di India dari pelabuhan Aceh –ada yang singgah di Singapura – lalu berlayar ke Jeddah. Ini baru rute utamanya.
Sedangkan kecilnya, rute dalam negeri, ketika di nusantara mereka pun tempuh dalam waktu panjang dan berbahaya. Mereka datang dari kampung-kampung dari seantero Nusantara lalu naik kapal besar –misalnya Nederland Loyd—dari pelabuhan yang ada di Sulawesi, Kalimantan, Surabaya, Batavia, lalu ke Singapura. Sungguh perjalanan yang rumit dan teramat panjang.
Nah, ketika sampai ke Makkah pada bulan Ramadhan itulah mereka jelas merasa sangat bahagia. Selama waktu tingga di Tanah Suci itu atau sembari menunggu bulan haji (dzulhijah), mereka belajar aneka rupa ilmu agama Islam dan manasik haji. Mereka belajar pada mukimim nusantara yang ada di Makkah, yang lazim di kenal sebagai orang ‘Jawah’.
Keterangan Foto: Sebuah rumah di Makkah pada tahun 1935 (foto Gahetna.nl)
Seorang Wakil konsul Belanda di Jeddah kala itu, Hoesin Iscandar pada tahun 1931 sempat menulis soal situasi jamaah haji ketika berada di Makkah. Dia berkisah begini:
‘’Orang Jawa adalah satu-satu komunitas di Makkah yang tidak mencari uang, melainkan membelanjakan uang di Tanah Arab. Kebanyakan mereka tidak mempunyai profesi yang menghasilkan upah, dan mereka yang berdagang pun hanya berlangganan sesama orang ‘Jawah’ saja, sehingga penduduk Makkah asli mendapat untung besar dari komunintas ini.
Dari catatan arsip Belandadari Snouck Hurgronje, menyatakan bahwa komunitas Mukimin merupakan wujud hubungan paling konkret antara ‘Jawah’ dengan Haramain. Inti dari dari mereka (komuntas mukimin Jawah) adalah para guru dan siswa. Di Makkah, merekalah yang dipandang tertinggi. Mereka amat disanjung oleh sesama orang Nusantara yang nak haji, dan dari Makkah mereka memimpin kehidupan-keagamaan desa-desa asli mereka.”
Keterangan foto: Jamaah haji di Makkah naik unta selama tinggal di Makkah.(foto: gahetna.nl)
Jadi para haji zaman dahulu memanfatkan bulan Ramadhan hingga tibanya bulan haji untuk belajar agama. Bukan berdagang atau aktivitas lainnya. Mereka belajar dan menemui para ulama ‘Jawi’ yang mengajar di Makkah yang pada abad ke-19 jumlahnya banyak dan dipandang tinggi. Para ulama masyhur itu ternyata juga kebanyakan mengajar di rumah seperti Syekh Nawasi al Bantani.
Para calon jamaah haji mendalami berbagai risalah dan kitab. Mereka bejalar juga soal kitab fiqih karang ulama ‘Jawi’ di Makkah selama ini ada di pesantren. Pada Ramadhan itu mereka belajar langsung pada sumbernya,
Memang dibanding para pelajar yang bermukim di Makkah, para calon haji ini belajar dalam waktu relatif singkat, yakni dari dari bulan Ramadhan sampai ke bulan Dzulhijah, yakni ketika waktu berhaji telah tiba.
Namun, arti kehadiran mereka di Makkah yang sekitar tiga sampai empat bulan, sangat penting artinya. Sebab, dari merekalah ajaran ulama yang ada di Makkah tersebar. Jamaah haji zaman dahulu selain berguru dan membawa kepingan ajaran ulama Makkah mereka, mereka juga pulang sejumlah kitab dalam bentuk naskah.
Di antara naskah-naskah agama dari para jamaah haji yang membawa pulang itu, kini tersimpan dalam berbagai perpustakaan umum di Indonesia, Malaysia, serta luar negeri lainnya. Mereka ketika tiba di rumah ternyata kemudian menyalinya dan menyebarkannya ke masyarakat.
Jadi itulah arti bulan Ramadhan bagi jamaah haji zaman dahulu. Mereka memanfatkan masa tinggalnya ketika menunggu bulan haji, dengan memperdalam ilmu agama dan ilmu Alquran. Mereka ternyata di sana tidak untuk mencari kerja atau uang. Mereka mencari ilmu ternyata,
Maka itulah cerminan pada haji zaman dahulu ketika memanfatkan datangnya bukan Ramadhan ketika sudah tiba di Makkah. Aktivitas mereka selama itu – sekitar tinggal tiga bulan– dipakai untuk belajar dan menyalin naskah karya para ulama termashur tersebut.