REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Pada masa kini semua orang bebas mengekpresikan dan menuliskan perasaanya ketika pergi ke tanah suci entah untuk umrah atau haji. Semua berbondong-bondong menulis tak peduli pria dan wanita serta strata tingkat pendidikannya.
Di masa lalu, kisah perjalanan atau rihlah masih sangat jarang ditulis. Hanya beberapa orang saja yang pergi ke tanah suci menuliskan pengalaman perjalanan maupun ketika sudah sampai di Makkah. Yang paling monumental adalah kisah perjalanan pengelana Muslim yang terkenal Ibnu Batutah. Di dalam perjalannya dia menyempatkan diri menyinggahi Makkah untuk tinggal berapa waktu dan terutama untuk berhaji.
Meski begitu, sebenarnya bukan Ibnu Batutah yang pertama kali memperkenal rihlah ke Makkah. Ternyata sakah satu kisah yang paling aal dan paling popular, malah dipandang sebagai teladan genre rihla adalah karangan Ibnu Jubayr, yakni “Tadkhira bi akhbar an ittafaqat al-asfar” (Cerita Peristiwa yang Terjadi Dalam Perjalanan).
Keterangan foto: Ibnu Jubayr.
Dari buku ‘Kisah Naik Haji Di Masa Silam’ karya Henri Chambert-Loir ditulis bila Ibnu Jibayr (1145-1217), lahir di Valencia, Andalusia. Dia berasal dari keluarga yang terpandang dan mendapat pendidikan lengkap. Menurut cerita, barangkali legenda, dia dipaksa minum anggur oleh atasannya Gubernur Granada, dan memutuskan naik haji untuk menghapus dosa ini. Ia berangkat pada bulan Februari 1184 dan pulang lima belas bulan kemudian. Pengalaman inialh yang dituliskannya dalam cerita (rihlahnya).
Ciri utama rihlah karangan Ibnu Jubayr adalah ketelitiannya. Deskripsi Masjidil Haram mengisi 24 halaman padat. Ibnu Jubayr bukan saja mengamati segala sesuatu dengan cermat, ua juga memeriksa segala jenis data sebelum melukiskannya. Ia bahkan menunjukan kererangan yang sempat ia amati (ukur dan hitung) sendiri atau yang dipungut dari sumber lain.
Sebagai contoh Ibnu Jubayr menulis, “Di samping antara rukun Iraki dan tembok Hijir Ismail terletak lorong selebar empat langkah atau enam hasta yang kamihitung sendiri dengan tangan.
‘’Jumlah pilar pualam di berbagai selasar saya hitung sendiri sebanyak 471 di tambah pilar batu gamping yang berada di rumah dewan. Sumur Zamzam sedalam sebelas tinggi orang, menurut perkiraan kami sendiri permukaan airnya konon berada ada tujuh tinggi orang,’’ tulis Ibnu Jubayr.
Ibnu Jubayr mengutarajab pendapatnya tentang orang yang dibicarakannya, Umumnya, ia mudah kagum dan bergairah tentang segala sesuatu yang dilihatnya. Namun, ia dapat juga bersikap kritis; ia sangag ketus tentang orang-orang Makkah yang memeras para jamaah haji.
Dan ia bisa menecam seorang pembicara yang kurang menguasai tata bahasa Arab. Ibnu Jubayr memerikan kondisi perjalanan tetap tidak pernah menggarisbawahi kesulitan yang dihadapinya. Bukunya adalah kisah pribadi, sebuah kesaksian, namun kepribadian dan perasaan penulis bukan pokok utama: yang diutamakan adalah obyek pengamatannya.
Ibnu Jubayr menyebut kaum Muslim dari berbagai negeri di Timur Tengah (Suriah, Mesir, Yaman, dan Irak). Ia memerikan adat istiadat mereka, memuji kesalehan mereka, mengecam keliaran mereka. Ia mengenal berbagai bangsa itu, dab gambaran yang terbut dari kisahnya menunjukan perbedaan dan perpeahan, bukan persamaan dan persatuan.