Selasa 05 May 2020 19:03 WIB

Mampu, Syarat Umum Mengerjakan Ibadah Haji

Intinya, kewajiban haji tidak gugur meski seseorang tidak kuat secara fisik.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Fakhruddin
Mampu, Syarat Umum Mengerjakan Ibadah Haji. Foto ilustrasi disabilitas saat manasik haji.
Mampu, Syarat Umum Mengerjakan Ibadah Haji. Foto ilustrasi disabilitas saat manasik haji.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Agar ibadah haji diterima Allah SWT ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Ada lima syarat puasa di antaranya beragama Islam, berakal, baligh, merdeka dan mampu. 

Ustaz Ahmad Sarwat, Lc., MA dalam bukunya "Ibadah Haji Syarat-syarat." memastikan tidak terpenuhinya salah satu dari syarat-syarat itu, maka ibadah haji itu menjadi tidak sah. Dan jika haji tidak sah, maka belum gugur kewajiban haji atasnya. "Di pundaknya masih ada beban untuk mengerjakan ibadah haji," katanya.

Ustaz Ahmad, menuturkan, di antara syarat-syarat itu ada yang sifatnya umum, berlaku untuk semua orang. Syarat umum adalah syarat yang berlaku untuk setiap orang yang ingin mengerjakan haji dan berharap ibadahnya itu punya nilai serta diterima di sisi Allah SWT. 

Syarat umum yang berlaku bagi setiap orang adalah beragama Islam, berakal, baligh, merdeka dan mampu. Namun di antara lima syarat itu ada satu syarat yakni mampu memerlukan pembahasan cukup banyak menghabiskan lembar-lembar kitab para ulama.

Tapi kata dia, hal itu wajar mengingat memang syarat mampu itu Allah SWT sebutkan dengan eksplisit tatkala mewajibkan hamba-hamba-Nya menunaikan ibadah haji. Surah Ali Imran ayat 97 menjelaskan tentang mampu. "Mengerjakan ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah."

Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang makna 'sabila' dalam ayat di atas, beliau menjelaskan, seseorang datang kepada Nabi SAW dan bertanya,"Ya Rasulallah, hal-hal apa saja yang mewajibkan haji?". Beliau menjawab,"Punya bekal dan punya tunggangan". (HR. Tirmizy).

Bekal adalah apa yang bisa menghidupi selama perjalanan, baik makanan, minuman atau pakaian. Sedangkan tunggangan adalah kendaraan yang bisa dinaiki untuk mengantarkan diri sampai ke Baitullah di Makkah.

Para ulama banyak yang merinci tentang kriteria mampu menjadi beberapa hal, antara lain mampu secara fisik (badan), mampu secara harta, dan juga mampu secara keadaan, yakni keadaan yang aman dan kondusif. 

Ahmad menuturkan, yang dimaksud dengan mampu secara fisik minimal adalah orang tersebut punya kondisi kesehatan prima. Mengingat bahwa ibadah haji sangat membutuhkan fisik yang cukup berat. "Dalam arti punya bekal makanan selama perjalanan, atau punya unta bahkan pesawat terbang, kalau badannya lumpuh, sakit atau lemah," katanya.

Akan tetapi dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, apakah orang yang sakit menjadi gugur kewajiban hajinya?

Dalam pandangan Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah, kewajiban haji itu terkait erat dengan kesehatan fisik, di mana ketika seseorang berada dalam keadaan sakit, gugurlah kewajiban haji atasnya. Dalil yang mereka pakai adalah surah Ali Imran ayat 97 yang artinya. Buat orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah."

Maka kata dia, orang yang kondisi fisiknya lemah, sakit-sakitan, lumpuh, termasuk orang yang sudah tua renta dan orang buta, semuanya tidak dibebankan kewajiban untuk melaksanakan ibadah haji. Dan kewajiban menunaikan ibadah haji baru akan dibebankan manakala dirinya telah sembuh dari penyakitnya. 

Sehingga apabila seorang yang sakit belum melaksanakan ibadah haji meninggal dunia, di akhirat dia tidak harus mempertanggung-jawabkannya. Sebaliknya, Mazhab Asy-syafi'iyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa kesehatan fisik bukan merupakan syarat yang mewajibkan haji, tetapi syarat untuk berangkat dengan fisiknya sendiri. Padahal haji bisa dikerjakan oleh orang lain, atas biaya yang diberikan.

Artinya, bila kondisi kesehatan seseorang tidak memungkinkan untuk berangkat haji sendiri, kewajiban haji tidak gugur. Karena dia tetap masih bisa mengupah orang lain untuk menunaikan ibadah haji atas nama dirinya. Dalill yang digunakan oleh mazhab ini adalah karena Rasulullah SAW menjelaskan tentang maksud istitha'ah (mampu) adalah sebatas seseorang memiliki bekal (az-zzad) dan tunggangan (ar-rahilah). 

"Dan beliau SAW tidak menyebutkan urusan kesehatan, sehingga kondisi seseorang dalam keadaan sehat atau tidak sehat, tidak ada pengaruhnyadalam kewajiban melaksanakan ibadah haji," katanya. 

Sehingga orang yang sakit tetapi punya bekal dan tunggangan, tetap wajib menunaikan ibadah haji meski dengan mengutus orang lain sebagai badal atau pengganti. Kita mengenalnya dengan istilah badal haji, insyaAllah akan kita bahas pada bab-bab berikut. 

"Intinya, kewajiban haji tidak gugur meski seseorang tidak kuat secara fisik, selama dia punya harta benda untuk membiayai orang lain berangkat haji," katanya.

Selain itu syarat mampu (istithaah) dalam melaksanakan ibadah haji terutama sekali adalah mampu dalam masalah finansial. Apalagi di masa sekarang ini, seseorang dianggap punya bekal dan tunggangan sangat ditentukan apakah seseorang punya harta atau tidak. 

"Kalau punya harta, bekal dan tunggangan bisa dibeli atau disewa dengan mudah. Sebaliknya, kalau tidak punya uang, berarti bekal tidak ada dan tunggangan juga tidak dapat," katanya.

Harta yang minimal dimiliki buat seseorang agar dianggap mampu secara finansial adalah yang mencukupi biaya perjalanan, bekal makanan selama perjalanan, pakaian, biaya hidup selama di Tanah Suci, dan biaya untuk perjalanan kembali. Dan harta ini bukan hanya untuk menjamin dirinya selama dalam perjalanan dan kembali, tetapi termasuk juga biaya untuk menjamin kehidupan anak istri yang ditinggalkan di tanah air. 

"Sebuah biaya yang dibutuhkan untuk makan, minum, pakaian, dan rumah tempat tinggal buat keluarga di tanah air, harus tersedia dalam arti cukup," katanya.

Sebab Rasulullah SAW katanya berpesan yang artinya. "Cukuplah seseorang berdosa dengan meninggalkan tanggungan nafkah. (HR. Abu Daud, Al-Hakim).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement