REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Komnas Haji dan Umrah menilai sangat sulit menerapkan manajemen disaster seperti social distancing maupun physical distancing pada saat penyelenggaraan ibadah haji. Untuk itu sebaiknya penyelenggaraan haji tahun ini ditunda selama masih ada pandemi Covid-19.
"Sulit menerapkan strategi social distancing maupun physical distancing terutama pada saat agenda-agenda krusial seperti thawaf, wukuf, sa’i, lempar jumrah," kata Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj, Senin (25/5).
Di mana 1,3 juta orang dari berbagai penjuru dunia berkumpul pada saat yang bersamaan. Untuk itu kata dia, masih sangat beresiko memberangkatkan jamaah haji tahun ini karena pandemi masih terjadi.
Mustolih mengatakan, ada beberapa hal lain yang bisa menjadi landasan Presiden dapat meniadakan pelaksanaan rukun Islam kelima pada tahun 2020 ini.
Pertama, pemerintah masih belum mencabut status darurat bencana nasional akibat pandemi covid-19 sebagaimana tertuang melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional yang diberlakukan sejak 13 April 2020.
Karenanya segala ketentuan dan pendekatan mestinya menggunakan perspektif kebencanaan. Dengan kata lain penundaan pemberangkatan misi haji bisa merujuk beleid tersebut bukan karena keinginan pemerintah, akan tetapi terhalang oleh bencana non alam berupa Covid-19."Sehingga tugas dan kewajiban pemerintah menyelenggarakan haji terhalang oleh bencana atau dengan kata lain terjadi force majeur," katanya.
Hal ini penting dikemukakan karena pihak Kemenag mungkin saja merasa khawatir bila haji ditunda akan mendapatkan gugatan dari berbagai pihak termasuk gugatan class action dari jamaah. Keinginan menunda tentu saja bukan dari pemerintah, tetapi karena situasi yang membahayakan jiwa jemaah.
Kedua, aturan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) masih berlaku di berbagai daerah, jika pemerintah konsisten terhadap aturan PSBB maka larangan berkumpul juga berlaku terhadap kegiatan apapun, tak terkecuali prosesi pemberangkatan jamaah haji yang melibatkan ratusan ribu orang.
Ketiga, akan keluar biaya ekstra jumbo minimal terkait dua sektor penting yaitu penerbangan dan kesehatan. Peraturan Menteri Perhubungan perusahaan maskapai hanya boleh mengangkut 50 persen dari daya tampung karena harus memberlakukan social distancing di dalam pesawat. "Sehingga untuk keperluan haji harus menyediakan dua kali lipat angkutan pesawat yang sudah dijadwalkan, baik untuk pemberangkatan maupun pemulangan," katanya.
Ilustrasinya, jika sebuah pesawat berkapasitas 500 penumpang, maka hanya boleh diisi setengahnya. Di sektor kesehatan juga harus ada anggara tambahan untuk berbagai keperluan kesehatan seperti fasilitas, peralatan dan kebutuhan medis mencegah dan mengobati jamaah dari Covid-19. "Biaya-biaya lain untuk menyesaikan dengan situasi juga bisa timbul," katanya.
Pertanyaannya dari mana anggaran akan diambil, apakah dari APBN, dibebankan kepada jemaah atau menambah subsidi dari manfaat dana jemaah haji tunggu (waiting list) yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), penyediaan dana-dana semacam ini akan sangat rawan penyimpangan.
Keempat, tenaga kesehatan seperti dokter, perawat dan tenaga kesahatan lainnya juga harus ditambah secara signifikan untuk menjaga kesehatan jemaah dan petugas. Padahal saat ini peran mereka tengah difokuskan untuk membantu menangani Covid-19 di dalam negeri yang masih fluktuatif, bahkan diprediksi setalah lebaran akan ada lonjakan pasien positif Covid-19 yang signifikan akibat kurangnnya kepatuhan masyarakat terhadap aturan PSBB.
Kelima, misi jamaah haji yang berjumlah 221 ribu orang dikhawatirkan berpotensi terinveksi selama prosesi haji menjadi cluster baru, baik selama proses di tanah air maupun di tanah suci, karena berinteraksi dengan jutaan jamaah lainya dari berbagai negara. "Sehingga manakala pulang ke tanah air sangat potensial menjadi cluster baru Covid-19, tentu saja semua pihak tidak menginginkan ini akan terjadi," katanya.
"Terlebih terlebih 1 persen (sekitar 2 ribu orang) porsi jamaah diperuntukkan bagi jemaah usia lanjut usia (lansia) sehingga beresiko tinggi (risti) dan rentan mengalami gangguan kesehatan," katanya.
Keenam. Kesiapan mental dan fisik petugas haji (di luar petugas medis) karena kurikulumnya tidak disiapkan dan didesain sejak awal untuk menghadapi situasi seperti saat ini harus berjibaku menghadapi wabah Covid-19. Sehingga dikhawatirkan bisa berdampak pada pelayanan.
"Sebab salah satu faktor penentu sukses tidaknya penyelenggaraan ibadah haji adalah kinerja para petugas di lapangan," katanya.
Ketujuh, asrama haji Pondok Gede yang selama ini berfungsi sebagai transit untuk keberangkatan dan menampung jamaah yang cukup besar saat ini diperuntukkan sebagai rumah sakit sementara penanganan isolasi pasien Covid-19. Jika mencari alternatif tempat lain, akan menambah biaya ekstra yang cukup besar.
Kedelapan, kondisi Arab Saudi belum aman dan kondusif karena masih dikepung virus. Berdasarkan data Worldometers, sampai 18 Mei 2020, sudah ada 57.345 kasus positif corona di Arab Saudi. Dari jumlah tersebut, 320 jiwa meninggal dunia dan 28.748 pasien sembuh. Artinya, masih ada 28.277 pasien Covid-19 yang dirawat di Saudi.
Arab Saudi saat ini berada di peringkat 15 dalam daftar negara yang memiliki jumlah pasien Covid-19 terbanyak di dunia. Pemerintah harus mencermati kondisi ini sebagai pertimbangan untuk mengambil keputusan.
Memang kata dia, keputusan penundaan haji 2020 tentu saja akan membuat sejumlah pihak tertentu akan merasa kecewa dan tidak happy, baik bagi jamaah, maupun pihak-pihak yang memiliki kepentingan ekonomi atas penyelenggaraan ibadah ini. "Tetapi penundaan pemberangkatan haji adalah jalan terbaik saat ini, menyelamatkan ribuan jiwa rakyat harus ditempatkan di atas kepentingan manapun.