REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Internasional untuk Memantau Administrasi Dua Masjid Suci Saudi (Al Haramain Watch) mengampanyekan pendirian otoritas internasional yang bertugas mengelola Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Gerakan ini menargetkan dukungan dari negara-negara Arab, negara Islam, dan juga komunitas Muslim di Eropa hingga Amerika Serikat.
Sebagaimana dilansir The Brussels Times, Rabu (27/5), sejauh ini, petisi pendirian otoritas internasional itu telah didukung sekitar 100 cendekiawan Muslim dan aktivis HAM. Menurut Al Haramain Watch, organisasi itu berpendapat sudah saatnya didirikan sebuah otoritas Muslim, yang terdiri dari seluruh negara Muslim, untuk mengelola Dua Situs Suci. Otoritas itu juga harus memastikan akses gratis bagi semua umat Muslim yang hendak datang.
Sheikh dan cendekiawan Malaysia, Azmi Abdul Hamid, mengatakan, gerakan ini berhasil memperoleh dokumen sejarah yang ditulis Raja Abdulaziz bin Saud, pendiri Arab Saudi. Dokumen itu bakal digunakan untuk mengingatkan umat Islam tentang hak-hak integral mereka di tempat-tempat suci di Arab Saudi.
Dokumen ini menyatakan bahwa umat Islam memiliki hak yang jelas untuk mengelola urusan Dua Masjid Suci tanpa hambatan. Hak itu dijamin langsung oleh Raja Abdulaziz bin Saud (meninggal pada tahun 1953).
Bentuk Otoritas
Kampanye ini, sebagaimana tercantum dalam petisinya, mengusulkan otoritas internasional pengelola Dua Masjid Suci itu terdiri dari semua negara Muslim. Bagaimana bentuk otoritas itu?
Petisisi itu mengusulkan agar semua negara anggota untuk memilih komite untuk mengelola Dua Masjid Suci. Periode jabatannya 4 tahun. Pelaksanaannya, komite itu dipantau oleh asosiasi kerja dan diawasi oleh semua negara anggota.
Petisi itu juga menyerukan untuk membentuk manajemen dana yang berdaulat yang dikelola negara anggota. Sumber dana utamanya dari pendapatan haji dan umroh.
Sebelumnya, pada 2018 lalu, Pemerintah Arab Saudi menolak segala bentuk politisasi atau internasionalisasi penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Arab Saudi menilai gagasan tersebut justru melecehkan dua Tanah Suci yang menjadi tempat ibadah haji.
Duta Besar Arab Saudi pada saat itu, Osama bin Muhammad Abdullah, mengatakan masyarakat Muslim di seluruh dunia tentu menolak dengan tegas upaya mengacaukan Tanah Suci. Salah satunya dengan politisasi ibadah haji dan umrah.
"Upaya ini merupakan pelecehan terhadap Tanah Suci dan terhadap umat Islam. Tentu penolakan ini merupakan refleksi yang muncul dari dunia Islam yang menolak upaya pelecehan terhadap tempat suci umat Islam dan kaum Muslimin," kata Osama dalam konferensi Pers 'Penolakan Internaisonalisasi 2 Tanah Suci dan Pengelolaan Haji/Umrah' di Gedung Rektorat Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Kota Bandung pada 2018 lalu.
Osama menuturkan politisasi haji dan umrah ini juga bentuk pelanggatan terhadap perjanjian internasional yang sudah diakui seluruh pihak. Arab Saudi sebagai negara berdaulat memiliki kewenangan mutlak mengelola aset di negaranya sendiri.
"Ini pelanggaran terhadap kedaulatan dari Kerajaan Arab Saudi," ujarnya.
Ia pun mengumpamakan jika kondisi tersebut terjadi di Indonesia, misalnya Masjid Istiqlal ingin dikelola sebagian tanahnya oleh negara lain. Indonesia pun pasti akan menolak dan mengupayakan apa pun untuk mempertahankan Masjid Istiqlal.
Menurutnya tidak ada alasan yang bisa melatarbelakangi pengambilalihan penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Sebab, seluruh Muslim di dunia mengetahui pemerintah Arab Saudi membenahi sistem penyelenggaraan haji dan pengelolaan dua Tanah Suci secara terus-menerus.
Pada 2018 lalu pula, Dai, ulama, dan Ormas se-Indonesia menyatakan sikap atas internasionalisasi dua tanah suci dan pengelolaan ibadah haji serta umrah. Para ulama dengan tegas menolak gagasan tersebut.
Perwakilan ulama se-Indonesia Ustaz Adi Hidayat mengatakan tidak ada alasan negara lain mengambil alih pengelolaan ibadah haji dan umrah dari Kerajaan Arab Saudi. Menurutnya, aset-aset negara merupakan hak dan kewajiban dikelola negara itu sendiri.
"Wajar bagi setiap negara menyampaikan penolakannya. Tidak ada alasan internasionalisasi karena sampai saat ini kontribusi Kerajaan Arab Saudi sudah sangat baik pada penyelenggaraan haji dan umrah," kata Ustaz Adi dalam konferensi Pers 'Penolakan Internaisonalisasi 2 Tanah Suci dan Pengelolaan Haji/Umrah' di Gedung Rektorat Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Kota Bandung.
Ustaz Adi mengatakan sangat wajar Indonesia menjadi negara terdepan yang menolak isu tersebut. Indonesia menyampaikan sikap kepada dunia internasional pengelolaan ibadah haji dan umrah mutlak dilakukan negara Arab Saudi.
"Mengingat juga Indonesia termasuk yang memiliki jumlah umat Islam terbesar dan termasuk perserta jamaah haji dan umrah terbesar. Maka sangat perlu sikap ini disampaikan dan sebagai bagian untuk diketahui dunia internasional," ujarnya.
Menurutnya, gagasan internasionalisasi itu dapat menimbulkan problema besar, bahkan perselisihan. Sistem pengelolaan ibadah haji dan umrah yang selama ini dilakukan pemerintah Arab Saudi justru bisa berantakan serta mengancam stabilitas situasi dua tanah suci Makkah dan Madinah.
Ia menilai pengelolaan yang dilakukan Kerajaan Arab Saudi selama ini sudah sangat baik. Perbaikan sarana dan prasarana terus dilakukan untuk meningkatkan kenyamanan jamaah.
"Berdasarkan itu maka tidak ada kebutuhan dan alasan untuk internasionalisasi haji dan umrah. Indonesia yang diwakili ulama dan tokoh-tokohnya menolak semua upaya internasionalisasi penyelenggaran haji dna umrah dari pihak atau negara mana pun juga," katanya.