REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan pemerintah harus mengantisipasi dampak pembatalan keberangkatan haji bagi jamaah maupun perusahaan penyelenggara haji.
Bambang Soesatyo mengatakan ia dapat memahami langkah pemerintah tidak memberangkatkan jamaah calon haji Indonesia, baik yang reguler maupun khusus, akibat pandemi Covid-19. Namun menurut dia langkah yang diambil untuk menjaga keselamatan warga tersebut juga jangan sampai justru menimbulkan permasalahan baru, baik terhadap calon jamaah maupun perusahaan penyelenggara haji dan umrah.
"Kementerian Agama harus segera duduk bersama dengan perusahaan penyelenggara haji dan umrah, mencari jalan keluar atas permasalahan teknis yang timbul akibat kebijakan tidak memberangkatkan haji Indonesia, mengingat pemerintah Arab Saudi hingga saat ini belum memberikan kepastian apakah menerima jamaah haji atau tidak," kata Bamsoet.
Mantan Ketua DPR RI itu menjelaskan jika nantinya pemerintah Arab Saudi mengeluarkan kebijakan tidak menerima jamaah haji, para perusahaan penyelenggara haji Indonesia bisa mudah mengajukan "refund" hotel dan biaya lain yang telah mereka keluarkan untuk para jamaah.
Namun jika nantinya pemerintah Arab Saudi memutuskan tetap menerima jamaah haji, tentu akan menyulitkan proses "refund" (pengajuan pengembalian dana). "Masalah teknis ini akan berkaitan dengan kondisi keuangan perusahaan penyelenggara haji dan umrah, proses pengembalian dana jamaah, maupun hal teknis lainnya," kata dia.
Karena itu, menurut dia Kementerian Agama serta perusahaan penyelenggara haji dan umroh harus duduk bersama mencari solusi terbaik. "Saya juga akan sampaikan ke pimpinan DPR RI agar Komisi VIII DPR RI bisa memfasilitasi pertemuan tersebut," ucap Bamsoet.
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini juga meminta pemerintah membuka kemungkinan memberikan stimulus kepada perusahaan penyelenggara haji dan umrah, minimal berupa keringanan pajak.
Hal itu kata dia sama seperti yang juga sudah dilakukan pemerintah terhadap kalangan UMKM dan berbagai sektor usaha lainnya yang terdampak pandemi Covid-19. Sejak Februari 2020, kata Bamsoet perusahaan penyelenggara haji dan umroh tidak memberangkatkan jamaah umroh karena pemerintah Arab Saudi menutup layanan umroh akibat pandemi Covid-19.
Penutupan tersebut bisa jadi berlangsung hingga akhir tahun 2020, saat ini para perusahaan penyelenggara haji dan umroh juga tak bisa memberangkatkan jemaah haji. "Kondisi ini tentu memberatkan 'cash flow' perusahaan. Pemerintah perlu hadir agar tak terjadi penutupan perusahaan atau pemutusan hubungan kerja dari perusahaan penyelenggara haji dan umrah," kata dia lagi.
Dalam diskusi virtual dengan AMPHURI (Assosiasi Muslim Penyelenggara Umrah dan Haji Republik Indonesia), Wakil Ketua Umum SOKSI itu juga mencatat keresahan perusahaan terhadap pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Pada Pasal 89 UU Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) disebutkan, untuk mendapatkan izin menjadi penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah (PPIU), biro perjalanan wisata harus memenuhi persyaratan antara lain dimiliki dan dikelola oleh warga negara Indonesia beragama Islam.
Sedangkan draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja Paragraf 14 Keagamaan, di Pasal 75 tentang disebutkan bahwa ketentuan diubah menjadi untuk mendapatkan perizinan PPIU, biro perjalanan wisata harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
Adanya frase kalimat "yang ditetapkan pemerintah pusat" tersebut kata dia membuat timbulnya berbagai "syak wasangka" bahwa ada ruang menghilangkan frase PPIU dimiliki dan dikelola oleh WNI beragama Islam. Akibatnya, para penyelenggara haji dan umrah khawatir kelak urusan haji dan umrah malah dikuasai perusahaan asing. Hal ini tak katanya boleh dibiarkan, karena bisa semakin menghilangkan kedaulatan ekonomi bangsa.
"Sebaiknya di Omnibus Law dijelaskan saja secara rinci apa persyaratan utamanya. Sehingga tidak menimbulkan keresahan dan syak wasangka negatif dari berbagai pihak," ujarnya.