REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi umat Muslim, halal sudah menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan. Banyaknya klaim produk halal 100 persen di pasaran kadang kala menyamarkan makna halal itu sendiri bagi konsumen, utamanya konsumen yang belum memahami apa itu konsep halal.
Kewajiban bagi umat Muslim untuk mengonsumsi yang halal telah termaktub dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 168 berbunyi: “Ya ayyuhannasu kulu mimma fil-ardhi halalan thayyiban wa la tattabi’u khuthuwati as-syaithani innahu lakum aduwun mubin,”. Yang artinya: “Wahai sekalian manusia. Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh nyata bagimu,”.
Dalam buku Panduan Belanja dan Konsumsi Halal karya Anton Apriyanto Nurbowo dijelaskan, sejatinya klaim 100 persen halal di dalam dunia perdagangan kerap terjadi. Konsumen Indoneia seolah diakrabkan dengan jargon tersebut tanpa benar-benar disuguhkan oleh produk-produk yang kehalalannya terjamin 100 persen.
Klaim 100 persen halal ini setidaknya lumrah terlihat di spanduk pedagang kaki lima, pamflet iklan, hingga daftar menu restoran. Padahal ada dua persoalan yang nampak dari klaim yang ada apabila ditelisik lebih lanjut.
Pertama yaitu tentang maksud 100 persen halal itu sendiri. Klaim tersebut apakah mewakili sebuah kepastian atau menunjukkan skala kehalalan. Jika maksudnya yang kedua, maka jelas hal itu dinilai sangat absurd. Sebab, ajaran Islam (syariat) hanya menentukan kualitas produk (benda) sebagai halal atau haram saja.
Syekh Yusuf Qaradhawi dalam bukunya berjudul Halal Haram dalam Islam menjelaskan, asal suatu benda adalah mubah. Semua benda halal, kecuali yang disebut haram (bangkai, darah, babi, dan sejumlah kelompok barang lainnya beserta turunannya). Sedangkan dalam kaidah lain disebutkan bahwa setiap yang halal tak memerlukan yang haram.
Sehingga kehalalan itu sendiri bersifat murni. Tidak ada toleransi percampuran halal-haram yang menjadikan sesuatu dapat disebut halal mengenai skala kuantitatif. Untuk itu kesimpulannya, tidak ada istilah 50 persen halal atau 50 persen haram.
Dalam problem klaim kedua, yakni kata dijamin atau dipastikan 100 persen. Di sini terdapat pertanyaan mengenai siapa penjaminnya, dan bagaimana kapabilitasnya untuk itu? Untuk itulah, riskan disebutkan mengenai kehalalan suatu produk apabila umat Muslim itu sendiri tidak memahami produk serta klaim halal yang kerap dijumpai.
Pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJP) telah menyelenggarakan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Produk Jaminan Halal. Beleid tersebut mewajibkan seluruh produk, baik itu makanan, jasa, hingga obat-obatan wajib halal. Semoga dalam pelaksanaannya, hal ini dapat terealisasi dengan baik.