REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh: Uttik M Panji Astuti, Penulis dan Traveller
Hari ini tepat tiga bulan saya Work From Home (WFH). Sejak 16 Maret sampai 16 Juni. Selama tiga bulan saya sama sekali tidak keluar rumah. Bahkan olahraga jalan kaki 1000 langkah tiap pagi pun saya lakukan di dalam pagar, mondar-mandir di halaman sampai garasi.
Banyak sekali keberkahan yang saya rasakan dengan WFH ini. Salah satunya adalah berkah waktu yang luar biasa. Juga kemudahan untuk senantiasa menjaga wudhu. Karena di rumah hanya memakai daster, jadi tak perlu repot melepas-pasang jilbab seperti halnya kalau di kantor.
Daster dan pakaian rumah selama tiga bulan terakhir menjadi pakaian dinas harian. Menggantikan baju kantor maupun fast fashion lainnya. Bila semua orang hanya butuh daster atau pakaian rumah, tak heran kalau industri fashion termasuk salah satu industri yang terpukul akibat pandemi ini.
Salah satunya seperti yang terjadi pada brand internasional Zara. Dikutip dari Reuters, Senin (15/6), kerugian yang menimpa Zara pada kuartal pertama 2020 mencapai 409 juta euro atau sekitar Rp6,5 triliun.
Ini memaksa mereka untuk menutup 1.200 tokonya pada tahun 2020 hingga 2021. Merk lain H&M mengalami penurunan penjualan sebanyak 46% selama bulan Maret saja.
Dikutip dari sebuah media, penutupan Pasar Tanah Abang Jakarta selama lebih dari tiga pekan menyebabkan hilangnya perputaran uang sebesar Rp4,8 triliun. Kalau diakumulatif angkanya di seluruh dunia tentu mencengangkan sekali. Tak kurang dari 35 miliar USD atau setara Rp495,1 triliun.
Muncul pertanyaan, benarkah kebutuhan sandang manusia sebesar itu? Toh, selama tiga bulan ini sudah memberi bukti, nyaris hanya 5 lembar daster pun mencukupi.
Industri fashion yang perputaran uangnya mencengangkan itu disebut fast fashion. Alias fashion yang terus berubah. Dimunculkan tren fashion terbaru setiap waktu yang membuat manusia terjebak dalam pola konsumerisme tak perlu. Tercatat data, setidaknya sekitar 500 miliar dolar AS pakaian fast fashion ini akhirnya terbuang karena sudah tidak sesuai tren saat itu.
Astaghfirullah hal adzim. Alangkah mubadzirnya.
Padahal bukan seperti itu yang para alim terdahulu contohkan pada kita. Saya jadi teringat salah satu gamis milik Fatimah az-Zahra putri Rasulullah SAW yang tersimpan di salah satu ruangan di Museum Topkapi, Istanbul.
Bagian dari museum yang menyimpan benda-benda peninggalan Rasulullah SAW dan para sahabat disebut Kutsal Emanetler Dairesi atau Amanat Suci.
Gamis Fatimah terlihat besar untuk ukuran perempuan. Saya membayangkan, mungkin gamis itu menjuntai sampai ke lantai. Terlihat sederhana tanpa hiasan, terbuat dari kain yang kasar dan sudah sangat lapuk.
Saat menyaksikannya, sudut mata saya menghangat. Bagaimana pemimpin wanita di surga itu mengenakan gamis sederhana sehari-harinya. Teringat kisah kelelahannya karena harus menggiling gandum sendiri dengan tangannya yang mulia.
Di ruangan yang sama tersimpan jubah Rasulullah SAW yang tak kalah sederhananya. Juga benda berharga lainnya, seperti pecahan gigi sewaktu terluka dalam Perang Uhud; rambut; bekas tapak kaki; cincin bertuliskan namanya yang juga digunakan sebagai stempel; pedang; hingga surat-surat yang pernah dikirimnya.
Tak henti saya deraskan shalawat saat menyaksikan benda-benda milik manusia paling mulia itu. Allahumma salli `ala Muhammad.
Kesederhanaan yang sama juga diperlihatkan para sahabat. Seperti jubah Amirul Mukminin Umar bin Khattab yang konon sampai ada 18 tambalan yang dijahit dengan tangannya sendiri.
Begitupun kemuliaan cicitnya, Umar ibn Abdul Azis. Sekalipun sebelum menjadi Khalifah terbiasa memakai jubah yang bahan pewarnanya terbuat dari saffron. Terbayang kan ya, berapa harga pakaian itu, kalau pewarnanya saja semahal saffron.
Namun, setelah menjabat, ia sangat ketat terhadap keuangan keluarganya. Hingga masyhur lah cerita keluarga Khalifah yang memakai pakaian usang di Hari Raya.
Hingga bendahara negara menawarkan untuk “meminjamkan” dahulu gaji bulan depan guna memenuhi kebutuhan. Yang dijawab Umar bin Abd Azis dengan tegas, “Apakah engkau mengetahui ilmu gaib, sehingga tahu bahwa aku masih akan hidup sehari setelah hari ini?"
Dari mereka harusnya kita belajar banyak. Tumpukan pakaian dan kerudung itu akan ada hisabnya kelak.