Selasa 16 Jun 2020 22:06 WIB

Alasan Penduduk Jeddah Dulu Enggan Disebut Sisa-Sisa Haji

Warga Jeddah enggan disebut sebagai sisa-sisa haji pada waktu itu.

Rep: Febryan A/ Red: Nashih Nashrullah
Warga Jeddah enggan disebut sebagai sisa-sisa haji pada waktu itu. Ilustrasi Pelabuhan Jeddah, Arab Saudi.
Foto: Arabianbusiness.com
Warga Jeddah enggan disebut sebagai sisa-sisa haji pada waktu itu. Ilustrasi Pelabuhan Jeddah, Arab Saudi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebagai kota pelabuhan yang perkembangannya dibentuk berbagai bangsa, masyarakat Jeddah pada abad ke-18 hingga awal 19 Masehi ternyata enggan disebut sebagai 'sisa-sisa haji' alias jamaah yang akhirnya menetap di sana. Sebab, predikat itu akan membuat mereka dinilai bukanlah penduduk asli.

Pakar Sejarah Timur Tengah, Profesor Ulrike Freitag, mengatakan penduduk Kota Jeddah sangat beragam. Hal itu disebabkan banyaknya pendatang ke sana lantaran peran vitalnya sebagai pelabuhan yang menghubungkan perdagangan antara wilayah-wilayah di Samudra Hindia dan kawasan Eropa.

Baca Juga

Mereka datang sebagai pedagang, jamaah haji dan ada pula korban perbudakan. Mereka di antaranya datang dari India, Mesir, Iran, Maroko, dan Sudan.  

Namun, lanjut dia, mereka semua berupaya menekankan Arabisme dan membangun hubungan dengan suku-suku penting di sana. Tren semacam ini juga terjadi di berbagai kota lain di Semenanjung Arab.

"Banyak keluarga tua di Jeddah mengatakan bahwa mereka awalnya berasal dari Semenanjung Arab, (lalu) menghabiskan ratusan tahun keliling dunia, dan akhirnya kembali. Di satu sisi, ini pembuktian pada tren Arabisme yang saya sebutkan sebelumnya," kata Freiteg dalam wawacara terkait buku terbarunya berjudul 'A History of Jedda-The Gate to Mecca in the Nineteenth and Twentieth Centuries' dengan Qantara.de, Sabtu (6/6).  

Di lain sisi, lanjut dia, praktik semacam itu juga merupakan cara agar tak dicap sebagai orang yang bukan berakar dari masyarakat Saudi alias bukan penduduk asli. Cap itu di antaranya adalah orang turschat al-bahr (terlempar ke laut) atau orang baqayat al-hadsch (sisa-sisa haji).  

"Dalam hal ini, silsilah keluarga adalah strategi, cara melindungi tempat mereka dalam masyarakat Saudi," kata Freiteg yang telah meneliti Kota Jeddah selama 15 tahun.  

Lebih lanjut, Freitig menjelaskan bahwa 'sisa-sisa haji' itu adalah istilah yang muncul seiring meningkatnya jumlah jamaah haji yang tiba di Jeddah untuk beribadah ke Makkah. Menurut legenda, kata dia, Jeddah ditetapkan sebagai pelabuhan bagi Mekkah pada era Khalifah Utsman (644-656 M).  

"(Lalu) ketika interkoneksi ekonomi tumbuh dan perjalanan kapal uap meningkat pada abad ke-19 Masehi, lebih banyak peziarah dari sebelumnya bepergian melalui laut, datang ke pantai di Jeddah," kata Freiteg yang juga menjabat sebagai Direktur Leibniz Center for Modern Oriental Studies di Berlin, Jerman, itu.

 

 

Sumber: https://en.qantara.de/content/non-fiction-ulrike-freitags-a-history-of-jeddah-the-legacy-of-jeddahs-migration-history

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement