REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Anggota DPR Komisi VIII Bukhari Yusuf mengkritisi lambatnya jumlah usaha yang lolos sertifikasi halal di Indonesia. Salah satu penyebabnya ialah minimnya jumlah auditor halal sebagai syarat pembentukan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sulit membentuk LPH karena terbatasnya jumlah auditor halal. Para calon auditor halal dianggap berat untuk bisa lolos seleksi yang ditetapkan MUI.
Diketahui, pasal 10 ayat (1) UU No.33 Tahun 2014 tentang JPH menegaskan kerjasama BPJPH dan MUI dalam penyelenggaraan JPH adalah dalam hal sertifikasi auditor halal, penetapan kehalalan produk dan akreditasi LPH.
"LPH jalan tugas kalau punya auditor halal, harus dibentuk melalui kriteria dan pelatihan MUI. Selama ini berbagai macam proses dan pelatihannya sedikit sekali yang dinyatakan lulus. Dari sana terkendala sedikit auditor halal untuk pendirian LPH," kata Bukhari pada Republika.co.id, Selasa (21/7).
Bukhari menuding sedikitnya produk Indonesia yang lolos sertifikasi halal karena masalah di atas. Alhasil, para pengusaha di segala sektor yang ingin mendapat sertifikat halal harus mengelus dada karena perlu kesabaran ekstra. "Karena sedikitnya LPH berarti antrean sertifikasi halal panjang," ujar politisi asal PKS tersebut.
Bukhari merasa heran atas minimnya jumlah auditor halal. Padahal jumlah Muslim tak perlu diragukan lagi banyaknya di Tanah Air.
"Rasanya kok tidak masuk akal, jumlah penduduk 270 juta, 86 persen muslim, kok susah cari auditor halal 200 orang saja," ujar Bukhori.
Ia meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersikap transparan dalam seleksi auditor halal. Sehingga mereka yang ingin ikut seleksi dapat memenuhi segala persyaratan yang dibutuhkan. "MUI harus terbuka apa sih kriteria auditor halal dan bagaimana proses seleksinya. Harus terbuka," tegas Bukhori.
Berdasarkan data yang diperoleh Republika, ada sekitar lima ribu permintaan sertifikasi halal yang masuk ke BPJPH sejak Oktober 2019 sampai Juni 2020. Namun dari ribuan permintaan itu, hanya sekitar seratusan sertifikasi halal yang terbit.
Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia menolak tudingan memperlambat proses sertifikasi halal seiring masih langkanya sertifikasi auditor halal olehlembaga itu yang nantinya menyelia produk.
Direktur Utama Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) MUI KH Sholahuddin Al Aiyub mengatakan pihaknya sudah mensertifikasi 142 auditor halal. "Maka tidak benar jika dikatakan MUI tidak siap, bahkan menghambat proses sertifikasi auditor halal yang menjadi prasyarat dalam pendirian Lembaga Pemeriksa Halal (LPH)," kata dia, Jumat (17/7).
Menurut dia, proses sertifikasi halal melibatkan tiga unsur, yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPHJPH), MUI dan LPH.
BPJPH menjadi badan negara yang mengurusi administrasi sertifikasi halal, MUI sebagai pihak yang melakukan sidang fatwa produk serta menyertifikasi auditor, sementara LPH adalah penyelia produk.
Sholah menjelaskan, LPH dapat berdiri jika minimal memiliki dua auditor halal yang sudah disertifikasi oleh MUI.
Menurut Sholah, LSP MUI yang dibentuk sejak 30 Desember 2019 telah bekerja menyertifikasi auditor halal. Para penyelia itu berasal dari LPH LPPOM MUI maupun calon LPH lainnya dari beberapa perusahaan.
Wakil Sekjen MUI Bidang Fatwa ini mengatakan sedikitnya jumlah auditor halal yang sudah disertifikasi LSP itu terjadi karena sepi peminat. LSP MUI, kata dia, tidak boleh memaksa seseorang untuk mendaftar sebagai penyelia. "Tugas LSP MUI hanya memproses pendaftaran yang masuk untuk dilakukan verifikasi, prapenjajakan, penjajakan, rapat komite teknis sampai keluar sertifikat kompetensi jika sudah dinyatakan kompeten," katanya.
Sholah mengatakan LSP MUI menggunakan Standard Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Auditor Halal Nomor 266 Tahun 2019 dalam proses sertifikasi penyelia.