REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Influencer dan blogger saat ini mulai digemari banyak orang dan bahkan menjadi profesi baru karena berkembangnya era digital. Mereka pun saat ini semakin diandalkan oleh berbagai perusahaan untuk memudahkan pengenalan produk mereka kepada masyarakat.
Namun terkadang, mereka mungkin mendapati mereka kurang mampu menjaga kendali diri dan merek. Oleh sebab itu, sebuah universitas Malaysia mulai merancang kelas-kelas baru, untuk mendidik generasi baru para blogger, influencer, dan pengusaha.
Dilansir di Salaam Gateaway, Selasa (21/7), sebuah universitas negeri di pinggiran Kuala Lumpur, yang berada di bawah bendera Asian Blogger Academy, yaitu UiTM, telah bergabung dengan konsultan fashion berbasis di Indonesia, Markamarie, menandatangani perjanjian di Kuala Lumpur pada Rabu (15/7).
"Banyak siswa yang menjadi blogger, sedangkan mereka yang berada di kelompok usia saya tidak menyadari apa yang mereka lakukan, jadi saya melihatnya sebagai peluang untuk menjembatani kesenjangan," ujar dekan fakultas seni dan desain di UiTM, Ruslan Abdul Rahim.
Universitas ini hanya menerima mahasiswa etnis Melayu, yang hampir selalu Muslim. Menurut universitas, mereka saat ini sedang menyelesaikan modul sekarang yang berkaitan dengan kurikulum.
"Kami akan memperkenalkan unsur-unsur kewarganegaraan digital, menggabungkan etika dan bagaimana berperilaku saat blogging dan mempengaruhi, " kata Ruslan.
Kelas diharapkan akan dimulai tahun depan dan anggota fakultas dan blogger alumni akan mengajarkan modul. Laki-laki yang juga seorang ahli dalam bidang branding itu mengatakan, ada lebih banyak tekanan pada influencer Muslim untuk tampil bersih dan etis dalam segala hal yang mereka lakukan. Baik dalam kepribadian online mereka maupun jauh dari media sosial.
Itulah salah satu alasan mengapa kolaborasi ini muncul. Dia mrngaku ada banyak kekhawatiran yang muncul tentang apakah influencer akan tetap sesuai dan tidak merusak merek mereka. Sangat berbeda dari bekerja dengan agen periklanan atau PR.
"Itu sebabnya kami menggabungkan etika. Berperilaku online sangat sulit dilakukan di masyarakat fisik,” ujarnya.