Senin 03 Aug 2020 21:02 WIB

Visi 2030 Saudi Dinilai Promosikan Dialog Antaragama

Visi 2030 Saudi Dinilai Promosikan Dialog Antaragama

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Visi 2030 Saudi Dinilai Promosikan Dialog Antaragama. Foto ilustrasi: Petugas haji Arab Saudi membantu pelayanan kedatangan jamaah haji Indonesia di Bandara King Abdulaziz, Jeddah, Senin (6/8). Seiring visi Saudi 2030, para petugas Saudi mampak lebih ramah melayani jamaah haji tahun ini.
Foto: Republika/Fitriyan Zamzami
Visi 2030 Saudi Dinilai Promosikan Dialog Antaragama. Foto ilustrasi: Petugas haji Arab Saudi membantu pelayanan kedatangan jamaah haji Indonesia di Bandara King Abdulaziz, Jeddah, Senin (6/8). Seiring visi Saudi 2030, para petugas Saudi mampak lebih ramah melayani jamaah haji tahun ini.

REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Pada 2016 lalu, Putra Mahkota Pengaran Mohammed bin Salman telah menggagas Visi Arab Saudi 2030. Proyek ini dinilai telah berhasil dalam memberdayakan dan melindungi hak-hak perempuan, mempromosikan dialog antaragama, dan berinvestasi dalam penelitian arkeologi untuk melestarikan peninggalan sejarah Muslim dan dunia.

Hal ini disampaikan Lina K. Almaeena dalam artikelnya yang berjudul “Vision 2030 gives Saudi Arabia’s heritage new life”. Lina merupakan perempuan Arab Saudi yang masuk daftar 200 wanita paling kuat di Timur Tengah menurut Majalah Forbes. Dia juga pendiri dan CEO Jeddah United Sports Company.

Baca Juga

Menurut Lina, Visi 2030 Saudi saat ini juga menghadapi Islamophobia, yang muncul lantaran gagal memahami Islam yang sebenarnya, yang mengajarkan cinta, perdamaian dan toleransi antara agama-agama Ibrahim dan dunia pada umumnya.

Lina mengungkapkan, Arab Saudi bukan hanya jantung dunia Muslim, tetapi juga menjadi pusat dunia kuno. Sebagai tuan rumah Kelompok 20 Ekonomi Utama (G20) tahun ini, menurut dia, Kerajaan Saudi  berkomitmen untuk mendukung kerja sama Internasional untuk melayani kesejahteraan umat manusia.

Pusat Bantuan dan Bantuan Kemanusiaan King Salman (KSRelief) adalah salah satu dari banyak prakarsa Saudi yang didirikan untuk meringankan penderitaan mereka yang membutuhkan di seluruh dunia. Dalam Visi 2030, peran penyelenggaraan haji dan umrah juga sangat strategis. Haji dan Umrah merupakan salah satu dari tiga proyek besar, selain minyak dan gas. Namun, di tengah pandemi Covid-19 ini pemerintah Saudi membatasi jumlah jamaah haji hanya 1.000 orang.

Setiap tahunnya umat Islam berkumpul di Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Pada tahun sebelumnya, Makkah bahkan mampu menyerap jamaah hampir 2,5 juta dari seluruh dunia.

Pada 9 Dzulhijjah, jamaah haji dari seluruh dunia biasanya berkumpul di Jabal Rahmah atau di Gunung Arafah, tempat Nabi Muhammad Saw berdiri dan menyampaikan khutbah terakhirnya. Jabal Rahmah juga dikenal dengan “Bukit Kasih Sayang”, tempat Nabi Adam dan Hawa bersatu kembali.

Jamaah haji juga melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah. Dalam sejarah Islam dijelakan bahwa Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahim, bapak para nabi, dan putranya Ismail. Jamaah haji sampai hari ini juga mengikuti ritual Siti Hajar, istri kedua Nabi Ibrahim dalam usahanya mencari air di antara perbukitan Safa dan Marwah.

Sangat banyak warisan sejarah umat Islam yang terdapat di Arab Saudi. Bahkan, saat ini ada sejarawan kontemporer yang berpendapat bahwa gunung tempat Tuhan berbicara kepada Nabi Musa terletak di Arab Saudi dan bukan Gunung Sinai, khususnya di Jabal Al-Lawz, gunung yang memiliki ketinggian 2.580 meter di barat laut Arab Saudi.

Bagi umat Islam, menurut Lina, haji adalah waktu untuk refleksi diri dan evaluasi. Haji juga merupakan mementum bagi umat Islam untuk memperbarui komitmennya untuk kemajuan umat manusia.

“Mari kita berharap dan berdoa semoga persatuan global dapat berhasil mengatasi ancaman pandemi dan membantu menciptakan dunia yang bebas dari konflik, penyakit, dan kemiskinan,” kata Lina dikutip dari laman Arabnews, Senin (3/8)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement