Girish Chander Murmu, pejabat tinggi administratif kawasan itu, pada akhir Juni lalu sempat mengatakan kepada wartawan bahwa undang-undang mengenai status Khasmir yang baru itu yang bertujuan untuk membawa kemakmuran ekonomi dan menepis ketakutan akan perubahan demografis, hanya sebagai "propaganda".
Banyak penduduk asli di Kashmir yang skeptis dengan klarifikasi semacam itu. Mereka mengatakan tidak ada perubahan konstitusi yang tanpa direncanakan. Para aktivis hak asasi manusia, pemimpin pro-kebebasan, dan penduduk Kashmir pun telah lama khawatir. Pasalnya dengan memberikan hak kepada orang luar untuk membeli tanah dan properti dapat semakin menjerumuskan kawasan Khasmir ke dalam kekacauan dan menggerakkan rencana untuk menghancurkan identitas rakyatnya.
“Kami selalu dibohongi dan ditipu oleh tipu muslihat pembangunan dan demokrasi oleh negara India,” kata Shafat Ahmed Mir, seorang mahasiswa. "Sebagai orang Khasmir, ini adalah waktu paling kritis dalam sejarah kami dan kami belum pernah menghadapi ancaman eksistensial seperti itu sebelumnya."
Kemarahan Kashmir terhadap pemerintahan India telah lama mendidih.
Selama ini, Khasli sebagai wilayah pegunungan yang menakjubkan itu memang tidak banyak diketahui kecuali konflik sejak 1947, yakni ketika pemerintahan Inggris di anak benu baru saja membagi wilayah antara India dan Pakistan,
Dan, setelah serangkaian kesalahan politik, ingkar janji, dan tindakan keras terhadap perbedaan pendapat, separatis Kashmir pun melancarkan pemberontakan bersenjata besar-besaran pada tahun 1989. Mereka mencari penyatuan dengan Pakistan atau kemerdekaan penuh.
India kemudian menjuluki gerakan ini sebagai terorisme pemberontakan bersenjata yang didukung oleh Pakistan, meski tuduhan yang dibantah oleh Islamabad. Puluhan ribu warga sipil, pemberontak, dan pasukan pemerintah telah tewas dalam konflik tersebut dalam tiga dekade terakhir.
Sejak awal 1950-an, nasionalis Hindu, termasuk Partai Bharatiya Janata pimpinan perdana Menteri India yang kini berkuasa di India, Narendra Modi, telah berusha menganjurkan solusi yang menguntungkan India. Caranya dia bermaksud menetralkan sikap penduduk mayoritas Muslim Kashmir melalui membuat pemukiman umat Hindu yang datang dari bagian lain negara di India.
"Sayap kanan Hindu India menginginkan solusi demografis untuk Kashmir, tetapi kebijakan mereka menabur benih untuk konflik baru. Bahkan mungkin ini akan meletupkan konflik yang akan menyebabkan pertumpahan darah tanpa henti serta menyebabkan destabilisasi seluruh wilayah," kata Mohamad Junaid, seorang politikus dan antropolog Kashmir.
Militerisasi wilayah tersebut memang telah meningkat di bawah pemerintahan Modi. Apalagi pada bulan Juli, pemerintah India sudah melonggarkan aturan bagi tentara India untuk memperoleh tanah di Kashmir dan membangun "wilayah strategis" yang dipandang sebagai pemukiman oleh penduduk asli.
Partai politik pro-India tertua dan utama di Kashmir, Konferensi Nasional, mengecam langkah tersebut. Menurut mereka itu sebagai misi untuk "perampasan tanah besar-besaran" yang dapat "mengubah seluruh wilayah menjadi masuk ke dalam pembentukan zona militer."
Memang, dengan adanya kebijakan India yang mengizinkan orang luar Khasmir menjadi penduduk, banyak yang khawatir langkah seperti itu dapat mengubah hasil pemungutan suara jika itu akan terjadi. Jadi, meskipun melalui resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1948 telah memberi Kashmir pilihan untuk bergabung dengan Pakistan atau India, hal itu kini akan sia-sia belalaka.
Pengacara Kashmir Mirza Saaib Beg mengatakan, nantinya penduduk Khasmir yang baru direkrut itu akan memperoleh hak selama bertahun-tahun yang akhirnya dapat memperumit resolusi.
“Preseden sejarah menunjukkan bahwa ketakutan warga Kashmir beralasan,” kata Varma, antropolog. Perubahan hukum, katanya, adalah "tentang proyek untuk memusnahkan orang."
Ikuti Whatsapp Channel Republika
