REPUBLIKA.CO.ID, JEDDAH -- Sebagian pemuda Arab Saudi kini mulai menghindari tradisi menikah muda sampai mereka mapan secara finansial. Hal ini dipicu tekanan ekonomi yang membebani banyak pemuda Saudi, sehingga stabilitas keuangan menjadi kunci untuk memastikan kebutuhan sosial dan psikologis dapat terpenuhi dalam kehidupan rumah tangga.
Sebuah penelitian yang dikutip di Arab News, Senin (17/8), menyatakan bahwa generasi muda Saudi yang menghadapi dunia yang tak pasti dan tekanan keluarga untuk menikah dini, mulai memikirkan kembali dinamika kondisi ekonomi saat ini.
Bahkan, penelitian itu menyebut, bahwa menunggu hingga 25 tahun untuk menikah mengurangi kemungkinan perceraian hingga 50 persen. Psikolog sosial Theresa DiDonato mengatakan, gagasan menikah di usia yang matang mengurangi perceraian juga masuk akal.
"Karena pasangan lebih stabil secara finansial, dan memiliki tujuan yang lebih jelas," tuturnya.
Motivator yang menulis untuk Marriage.com, Shellie Warren, menjelaskan, masalah uang adalah penyebab paling umum kedua dari perceraian setelah perselingkuhan. Kebiasaan belanja yang berbeda, tujuan keuangan yang berbeda, dan salah satu pasangan yang menghasilkan lebih banyak uang, bisa meretakkan kehidupan rumah tangga.
Dengan demikian, saat ini banyak orang Saudi yang memilih untuk menjadi mapan dan matang terlebih dulu sebelum memasuki jenjang pernikahan. Hal ini diakui seorang warga Saudi sekaligus spesialis IT, Amjad Al-Harthi.
"Stabilitas keuangan dan kemapanan penting bagi masing-masing pasangan. Bukanlah lampu Aladdin yang memenuhi keinginan saya tetapi saya memenuhinya sendiri," ucap Harthi.
Menurut dia, masalah keuangan bukan tanggung jawab suami saja. Sebab, jika suami tersebut merasa ada tekanan akibat tanggungjawab itu, maka hubungannya dengan istri juga akan terpengaruh. Apalagi kebutuhan materi generasi muda meningkat drastis. Dengan banyaknya perempuan yang memiliki akses ke karir dan kesempatan pendidikan yang lebih besar, maka keinginan mereka untuk memenuhi berbagai hal juga sudah meningkat.
"Kematangan dari sisi emosional dan finansial penting. Setelah Anda menciptakan segalanya untuk diri Anda sendiri, maka Anda bisa tenang. Bila Anda stabil secara finansial, tetapi tidak matang secara emosional, ini akan menjadi jebakan yang berbahaya," kata Harthi.
Hanaa Al-Abdali, wanita 28 tahun yang telah menikah, menyebut kesuksesan pernikahannya karena ada kecocokan. Misalnya pada prinsip, gaya hidup dan latar belakang yang sama. Menurutnya aspek-aspek tersebut penting.
"Saya bekerja untuk pekerjaan yang penuh tekanan dan tuntutan. Ini agak bergengsi. Saya tidak suka mengakuinya, tetapi penting bagi saya untuk memiliki pasangan dari lingkaran yang sama," kata wanita yang bekerja di sebuah konsultan pengelola di Jeddah itu.
Awalnya, saat masih muda, Al-Abdali enggan memikirkan bagaimana memiliki kemampuan finansial yang mapan. Hingga akhirnya dia menyadari pernikahan itu mahal setelah menikah. Karena ada biaya yang menyertai pernikahan, seperti biaya sewa, tagihan dan sebagainya.
Itu semua membuat pernikahan menjadi mahal. Terlebih sebagian laki-laki tidak mau melepaskan gaya hidup mereka sebelumnya yang tinggal di rumah keluarga dan bebas dari tagihan serta tanggungjawab. "Mereka (para pria) juga bisa khawatir bahwa seorang perempuan tidak akan menikah jika suaminya tidak memiliki status finansial tertentu," tambahnya.