REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, perjuangan tak lantas berhenti. Bangsa Indonesia masih harus berperang mempertahankan kemerdekaannya menghadapi Belanda yang berusaha kembali menjajah. Karena itulah Rois Akbar NU, Kh. Hasyim Asyari mengeluarkan fatwa kepada seluruh umat Islam.
Kendati demikian, semangat umat Islam di Indonesia untuk melaksanakan haji di masa mendatang tetap di pupuk dalam hati. Pada 1948, Pemerintah Indonesia yang baru mendapatkan pengakuan dari negara-negara Timur Tengah, termasuk dari Saudi Arabia, mengirimkan misi haji. Delegasi yang terdiri dari KRH. Muh. Adnan, H. Ismail Banda, H. Saleh Suaidy dan H. Samsir Sutan Ameh berangkat ke Makkah guna menghadap Raja Arab Saudi.
Awalnya, pemerintah RI kala itu, hanya memfasilitasi jasa pesawat terbang carter milik Thailand yang mengakhiri tujuan penerbangan di Bangkok, selebihnya dengan biaya sendiri. Beruntung H. Samsir Sutan Rajo Ameh membawa sebongkah berlian yang dapat dijual ketika sampai di Bangkok.
Setelah merampungkan transaksi berlian itu, masalah lain segera dattang menghadang. Ternyata satu-satunya maskapai penerbangan yang melayani rute Bangkok-Kairo hanyalah perusahaan KLM, maskapai milik Belanda.
Terbetik keraguan di hati rombongan tersebut, mengingat kondisi RI-Belanda di Tanaj Air sedamg mengalami pergolakan dan peperangan. Namun, dengan tekad bulat mereka nekat mendaftardi maskapai itu. Tanpa diduga agen maskapai KLM meluluskan izin haji mereka yang terang-terangan bertuliskan Misi Haji RI (MHRI). Sebelumnya mereka juga telah menyelesaikan masalah lain yang tidak terduga, yakni persyaratan keterangan sehat yang didapat dari budi baik seorang dokter asal Vietnam.
Perjalanan pun dapat dilanjutkan dengan lancar sampai ke Kairo. Misi tersebut mendapat sambutan hangat dari baginda Raja Ibnu Saud. Pada tahun itu juga bendera Merah Putih pertama kali dikibarkan di Arafah.
Sumber: Haji dari Masa ke Masa, dan berbagai sumber