REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Khairunnisa Musari
“Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi ....” (QS al-Baqarah [2]: 168).
Pemberitaan tentang sebuah rumah makan terkenal yang dikabarkan menggunakan minyak babi dan angciu (red wine) menyeruak. Berawal dari seorang guru besar fakultas ekonomi dan bisnis di sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka di Surabaya mengirimkan e-mail kepada sebuah situs Islam dengan menceritakan pengalamannya ketika hendak mengajukan franchise pada rumah makan tersebut.
Persoalan menguak ketika kontrak perjanjian hendak dibuat, sang pemilik franchise mensyaratkan penggunakan minyak babi dan angciu dalam sejumlah masakan. Bagi negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia ini, kehalalan pangan nyatanya masih memiliki banyak ruang dan peluang untuk diabaikan.
Dengan mayoritas penduduk beragama Islam di Indonesia, nyatanya tidak serta-merta membuat pengusaha rumah makan menghormatinya dengan menyediakan makanan halal sebagaimana yang harus dipatuhi oleh seorang Muslim. Dalam bahasa Alquran, makanan atau tha’am adalah segala sesuatu yang dimakan atau dicicipi. Karena itu, minuman pun dapat dimasukkan dalam konteks tha’am. Dalam Islam, Alquran memerintahkan agar umat Islam mengonsumsi makanan yang halal dan thayyib.
Industri pangan
Mengacu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012, makanan atau pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah. Pangan diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Dengan jumlah penduduk Muslim sekitar 89,1 persen, sudah selayaknya Indonesia menjamin ketersediaan pangan yang halal dan thayyib. Kesadaran akan pangan yang halal dan thayyib merupakan salah satu dampak ikutan dari booming industri perbankan dan keuangan berlabel syariah.
Ketersediaan pangan halal dan thayyib menjadi potensi, peluang, sekaligus tantangan bagi kalangan dunia usaha untuk meningkatkan kualitas produknya dengan berbasis syariah pula. Dalam perkembangannya, halal dan thayyib kini bukan hanya menjadi simbol agama dan acuan normatif semata, melainkan juga menjadi simbol bagi kualitas, higienitas, serta keamanan bagi konsumen.
Di Inggris, ketersediaan produk daging halal mencapai 15 persen dari seluruh daging yang dijual dan dipasok untuk penduduk Muslim yang hanya sebanyak empat persen dari total populasi penduduk. Menariknya, sisanya ternyata juga ikut dikonsumsi oleh penduduk non-Muslim. Ketertarikan masyarakat non-Muslim mengonsumsi daging berlabel halal didorong oleh faktor kualitas daging yang dinilai kaya rasa, lebih lembut, dan diyakini lebih aman dan lebih higienis.
Industri pangan halal di Indonesia dan dunia memang kini berada pada perkembangan yang kian menggembirakan. Kesadaran konsumen untuk menyeleksi makanan semakin tinggi. Saat ini, pangsa pasar produk halal global diperkirakan hampir mencapai 800 miliar dolar AS per tahun dan menjadi potensi yang besar bagi para produsen produk halal di seluruh dunia.
Negara Muslim menjadi target segmen pasar yang efektif untuk dibidik, terutama yang berada di wilayah Asia yang saat ini memiliki penduduk Muslim terbesar. Pada 2050, diperkirakan Benua Eropa yang akan memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia.
Menjadi produsen
Tidak bisa dimungkiri, Indonesia merupakan the largest market untuk industri pangan halal. Sayang, industri pangan di negara ini masih banyak yang belum bersertifikasi halal. Jika jumlah perusahaan kosmetik dan toiletries di Indonesia yang bersertifikat halal berkisar tiga persen, industri pangan yang bersertifikasi halal ternyata tidak sampai satu persen.
Sedihnya lagi, Indonesia saat ini baru sebatas menjadi target pangsa pasar potensial bagi impor produk pangan halal. Kesadaran Indonesia untuk mentransformasi diri menjadi produsen pangan halal masih minim.
Hal ini salah satunya ditandai oleh ketidakmampuan menyediakan sumber pangan berbasis domestik. Tingginya impor bahan pangan mengindikasikan bahwa Indonesia tak mustahil akan tertinggal dibanding negara non-Muslim yang memiliki kemampuan lebih untuk mengekspor bahan pangannya ke Indonesia dan mengantongi sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Upaya pemerintah untuk melakukan ekspansi ekspor pangan halal ke sejumlah negara yang memiliki penduduk Muslim mayoritas tentu patut diapresiasi. Indonesia memiliki potensi produk makanan dan minuman yang halal untuk mengisi pasar negara Muslim lainnya. Indonesia pun memiliki potensi menjadi pusat halal dunia.
Standar halal Indonesia sudah diterima, diakui, dan diimplementasikan oleh lebih 43 lembaga dunia dari 22 negara. Namun demikian, nyatanya ketersediaan bahan pangan halal di dalam negeri sendiri nyatanya tidak begitu mudah untuk ditemukan. Membanjirnya produk pangan impor, termasuk rumah makan dengan label impor, tidak semuanya patuh terhadap pentingnya kehalalan.
Melihat besarnya pendapatan industri pangan nasional dan global, sesungguhnya terdapat pula peluang pendapatan bagi industri halal mengingat jumlah penduduk Muslim dunia saat ini diperkirakan sudah lebih dari 1,57 miliar penduduk di dunia yang merepresentasikan 23 persen dari total keseluruhan penduduk bumi. Dalam sebuah laporan berjudul “Mapping the Global Muslim Population”, satu dari empat orang di dunia adalah Muslim.
Dengan demikian, bagi Indonesia, peluang untuk mengakses pasar pangan halal global terhampar di depan mata. Tapi, jangan bermimpi untuk menjadi pusat pangan halal dunia jika urusan domestik belum tertangani dan terjamin ketersediaannya.
*Doktor Ekonomi Islam Unair, Peneliti Tamkin Institute dan Risk Management International (RMI)
*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Jumat, 27 September 2013