REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Muhbib Abdul Wahab
Suatu ketika Ali bin Abi Thalib dipanggil oleh Nabi Muhammad SAW dan diberi nasihat berikut. “Wahai Ali, orang yang mengonsumsi makanan halal, agamanya akan bersih, hatinya menjadi lembut, dan doanya tidak ada penghalang (pasti diterima oleh Allah). Barang siapa yang mengonsumsi makanan syubhat (tidak jelas), agamanya menjadi samar-samar, dan hatinya menjadi kelam. Dan, barang siapa yang mengonsumsi makanan haram maka hatinya akan mati, agamanya menjadi goyah (tidak kokoh), keyakinannya melemah, dan ibadahnya semakin berkurang.”
“Wahai Ali, Allah SWT tidak akan menerima shalat seseorang tanpa sedekah; Allah juga tidak menerima sedekah yang berasal dari harta haram. Selama tidak makan harta haram, Mukmin akan senantiasa dapat meningkatkan keberagamaannya. Siapa yang menjauhi ulama maka hatinya akan mati, hatinya juga menjadi buta dari taat kepada Allah.” (HR Ahmad).
Wasiat Nabi tersebut sarat dengan pesan dan pendidikan moral. Pertama, setiap Muslim hendaknya memperhatikan apa yang dimakannya, baik status kehalalannya maupun kualitas gizinya. “Maka, hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya!” (QS ‘Abasa [80]:24). Kehalalan dan keharaman makanan yang dikonsumsi berdampak langsung pada fungsi hati manusia.
Hati menjadi sehat, hidup, dan memantulkan “cahaya” Ilahi jika dinutrisi dengan yang halal. Hati menjadi sakit, kelam, dan mati jika diasupi makanan syubhat dan haram. Karena itu, Nabi menempatkan fungsi hati sangat sentral dalam kehidupan manusia. “Dalam diri manusia ada sekepal daging. Apabila ia baik maka seluruh tampilan kinerjanya pun menjadi baik. Sebaliknya, jika ia rusak maka rusaklah seluruh tampilan perbuatannya. Ketahuilah, sekepal daging itu adalah hati (al-qalbu).” (HR Muslim).
Kedua, makanan memengaruhi tingkat keberagamaan Muslim. Jika yang dimakan itu halal, kesalehannya akan meningkat. Sebaliknya, jika yang dikonsumsi itu haram, spiritualitasnya menjadi gersang. Karena itu, Allah menyuruh kita untuk mengonsumsi makanan yang halalan thayyiban (boleh dikonsumsi, bernutrisi, dan bergizi baik). “Makanlah yang halal lagi baik (bergizi) dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya beribadah kepada-Nya.” (QS an-Nahl [16]: 114).
Ketiga, makanan yang diperoleh secara halal pada dasarnya tidak boleh dihabiskan untuk dikonsumsi sendiri, tetapi sebagiannya harus disedekahkan kepada orang lain. Sedekah (kesalehan sosial) menentukan diterima tidaknya shalat (kesalehan personal) Muslim. Ibadah individual dan ibadah sosial harus berjalan seimbang.
Orang yang mendustakan agama adalah orang yang hanya mementingkan ibadah individual, sedangkan ia melupakan ibadah sosial (QS al-Ma’un [107]: 1-7). Menutrisi hati sendiri melalui shalat dan zikir harus diimbangi dengan menutrisi hati orang lain dengan sedekah, infak, wakaf, dan sebagainya.
Keempat, kemitraan dengan ulama dan ilmuwan itu dapat menutrisi hati dengan ilmu sehingga dapat meningkatkan kualitas keberagamaan Muslim. Karena, beribadah menjadi berkualitas jika dilandasi oleh ilmu yang benar, mendalam, dan luas. Ilmu para ulama dan ilmuwan harus diamalkan dan disosialisasikan kepada orang lain agar masyarakat menjadi lebih mendekatkan diri dan bertakwa kepada Allah.
Jika Allah menyatakan, “Yang takut kepada Allah hanyalah para ulama/ilmuwan di kalangan hamba-hamba-Nya” (QS Fathir [35[: 70) maka berarti keberagamaan Muslim itu perlu dinutrisi dengan “vitamin ilmu”, ilmu agama maupun ilmu umum secara integratif.
Dengan demikian, pendekatan diri dan ketaatan kepada Allah itu harus dibarengi dengan pendekatan diri kepada sesama, terutama para ulama. Dan, semua itu mengharuskan kita untuk peduli terhadap apa yang kita makan. Allah berfirman, “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.” (QS ‘Abasa [80]: 24).
Pertanyaannya, sudahkah kita semua memperhatikan halal dan thayyib (sehat, bergizi, dan cocok untuk kebutuhan tubuh kita) tidaknya makanan dan minuman yang kita konsumsi sehari-hari? Kedua kriteria (halal dan thayyib) tersebut menunjukkan Islam sangat peduli terhadap “isi perut” manusia berikut dampak yang ditimbulkannya. Bukankah makanan dan minuman itu sumber energi dan kekuatan fisik dan psikis.
*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Selasa, 18 Juni 2013