REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pembiayaan atau jual beli dengan sistem kre dit menjadi pilihan tak sedikit masyarakat saat ini. Sistem ini di ang gap memiliki kemu dahan bagi sebagian konsumen. De ngan dana seadanya, yang ber sangkutan bisa membawa pulang pro duk barang yang diinginkan. Da lam praktiknya, sistem ini mem berlakukan tambahan biaya atas jang ka waktu cicilan tersebut. Ini me munculkan pertanyaan, bolehkah biaya tambahan tersebut? Apakah ini tergolong riba yang diharamkan?
Syekh al-Qaradhawi dalam bukunya berjudul al-Halal wa al-Haram mengatakan, mekanisme jual beli dengan sistem kredit yang diikuti dengan kenaikan harga barang dari aslinya tersebut diperbolehkan. Ini seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW saat membeli makanan dari seorang Yahudi berikut tempo pembayaran.
Dalam tradisi fikih klasik, ujar sekjen Asosiasi Ulama Islam Sedunia itu, sistem pembayaran seperti ini dikenal dengan ba’i bi at taqsith atau ba’i bi ats-tsaman al ajil. Sistem ini menuntut seseorang membayar harga barang lebih tinggi dibandingkan dengan pembayaran tunai.
Meski demikian, pola dan sistem ini tidak menutup celah bagi masuknya praktik riba. Selama pemberlakuan kredit itu tidak mengandung unsur riba seperti bunga dan tetap sesuai dengan kriteria kredit yang diperbolehkan maka hukumnya boleh.
Syekh al-Qaradhawi menegaskan, ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan dalam praktik jual beli kredit tersebut. Di antara syarat itu, status dan keberadaan produk haruslah jelas, kesepakatan kedua belah pihak terkait tempo, tidak adanya kenaikan harga dari kesepakatan awal, dan hendaknya menghindari perilaku monopoli harga dari batas wajar di pasaran.
Ketentuan ini telah menjadi kesepakatan para ulama, baik dari generasi salaf maupun masa kini. Imam as- Syaukani dalam kitabnya Nail al-Authar mengatakan, mayoritas mazhab sepakat bahwa hukum sistem jual beli yang juga dikenal dengan installment itu ialah halal. Ini seperti yang pernah dinukilkan dari para imam Maliki, Mazhab Hanafi , Syafi i, Hanbali, serta Zaidiyah. Selama tidak ada unsur bunga, jual beli kredit tidak bisa disamakan dengan riba dari segi manapun.
Pendapat ini juga menjadi ketetapan sejumlah lembaga dan sidang komisi di tingkat internasional. Pada Muktamar Asosiasi Perbankan Islam di Dubai, sistem ini diperbolehkan. Keputusan yang sama juga diambil oleh Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam Kuwait.
Sejumlah dalil menjadi argumentasi penting untuk menetapkan hukum kredit ini. Antara lain, surah al-Baqarah ayat 282. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” Surah an-Nisaa’ ayat 29 masuk pula dalam deretan dalil yang digunakan.
*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Jumat, 12 April 2013