REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Status halal disematkan pada produk yang diperbolehkan dikonsumsi menurut hukum Islam. Selain Islam, kalangan Yahudi mempunyai aturan mengenai apa yang boleh dan dilarang. Bila mendengar istilah ‘kosher’, itu merujuk pada produk-produk yang bisa dikonsumsi menurut hukum Yahudi.
Wakil Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Muti Arintawati, menjelaskan, kosher itu seperti istilah halal, tetapi berdasarkan aturan Yahudi. “Kita tak bisa menerima begitu saja produk bersertifikat kosher, aturannya tidak sama,” katanya.
Ada pandangan yang mirip, tetapi tidak sama di antara Islam dan Yahudi. Seperti di Islam, kalangan Yahudi mengharamkan babi. Namun jika diolah lebih lanjut, misalnya menjadi gelatin, mereka dapat menyatakannya sebagai sesuatu yang kosher. Demikian pula dengan anggur (wine). Jenis minuman ini ada yang dinyatakan kosher juga tidak.
Kalau dalam proses pembuatannya melibatkan rabbi, yang kemudian menyatakan bahwa prosesnya sesuai hukum Yahudi, dapat masuk kategori kosher. Namun jika diolah dengan cara-cara yang umum dilakukan, dinyatakan tidak kosher. Ia menambahkan, makanan dan minuman kosher mempunyai tanda.
Ada label K atau U di dalam lingkaran pada kemasan produk yang telah dinyatakan kosher oleh lembaga sertifikasi kosher. Muti mengatakan, biasanya Muslim yang tinggal di sebuah negara dan tak menemukan pangan halal, mereka menjadikan produk kosher sebagai panduan. Ini mengacu pada pangan yang umum dikonsumsi.
Secara pribadi, jelas dia, produk kosher bisa saja menjadi panduan dalam kondisi yang demikian. Namun harus diteliti lebih lanjut bahan baku yang digunakan di dalamnya. “Tak bisa langsung mengonsumsinya, mesti ada ketelitian soal bahan pembuatnya,” ujar Muti.
Ia menuturkan, tak jarang pengimpor menerapkan adanya sertifikat kosher pada barang yang diimpornya dari pengekspor. Aturan ini ketat meski jumlah konsumen Yahudi itu tak banyak. Maka, pihak pengekspor akan mendatangkan badan sertifikasi kosher. Terkadang, ia berpikir itu sebagai sikap yang pilih kasih.
Tak banyak produsen meski membidik pasar Muslim dengan begitu ketatnya untuk memperoleh sertifikat halal pada barang yang mereka jual. Padahal, konsumen Muslim sangat banyak jumlahnya.
Penjelasan senada disampaikan oleh pakar pangan halal yang juga mantan auditor LPPOM MUI, Anton Apriyantono. Makanan dan minuman yang halal dimakan Yahudi, imbuh dia, disebut kosher. Penyebutan lainnya adalah kasrut atau kasher. Menurut dia, selain hewan yang tak disembelih, babi juga haram dimakan Yahudi. “Ini memang sepintas mirip dengan aturan halal dan haram dalam Islam.”
Dalam Islam, larangan bagi Muslim untuk memakan babi dijelaskan dalam surah al-Maidah ayat 3: “Diharamkan bagimu makan bangkai, darah, dan babi ….” Selain itu, ada hadis yang diriwayatkan Jabir menguatkan hal itu. “Allah mengaramkan penjualan dan pembelian arak, bangkai, dan babi.” Lalu, seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana dengan lemak babi? Lemak babi dapat digunakan untuk mengecat perahu, menghaluskan kulit, serta sebagai alat penerang.”
Mendengar hal itu, Rasul menegaskan, “Tidak, ia tetap haram. Allah mengutuk orang-orang Yahudi. Allah mengharamkan mereka memakan lemak babi, tetapi mereka mengumpulkannya, lalu menjualnya dan makan harganya (hasilnya).” Demikian hadis yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, dan Ashabus Sunan.
Dalam kamus Inggris-Indonesia karangan John M Echols dan Hassan Shadily (1988), kosher diterjemahkan sebagai ‘halal’, dengan contoh, kosher meat sama dengan daging halal. Anton mengatakan, benar memang ada persamaan antara kosher dan halal. Namun, sejumlah produk lainnya disikapi bertentangan oleh konsep Yahudi dan Islam.
Anggur atau wine dan sejumlah jenis gelatin adalah kosher menurut Yahudi. Tapi bagi Islam, anggur tergolong khamar dan itu haram hukumnya. Setiap yang memabukkan adalah khamar dan khamar haram. Sementara itu, gelatin pada umumnya minimal syubhat, kecuali gelatin bersertifikat halal.
Gelatin yang lebih efisien dan ekonomis adalah yang terbuat dari tulang atau kulit babi. Sebaliknya, daging selain babi yang halal menurut Islam belum tentu demikian menurut kosher. Anton menjelaskan, sebab menurut Yahudi, terlarang menyebut nama Tuhan di tempat yang tidak suci seperti rumah potong ternak.
Binatang yang halal tapi jelas tidak kosher antara lain binatang berkuku belah seperti kuda; binatang laut bercangkang, misalnya udang, lobster, dan kepiting; unggas liar; serta ikan tak bersirip atau bersisik. Bahkan, daging apa pun menjadi tidak kosher bila dimakan bareng keju dan susu.
*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Jumat, 20 Mei 2011