REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Semua berawal dari sebuah migrasi. Pada abad ke-10, orang-orang Turki memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahirannya. Lalu, jalinan kontak pun terwujud antara mereka dan Turkestan, Afghanistan, dan Iran yang telah karib dengan agama dan budaya Islam.
Islam dan nilai-nilainya telah menjadi panduan banyak warga di ketiga wilayah itu. Kontak ini kemudian membuat orang-orang Turki secara massal melakukan perpindahan agama. Pada akhirnya, mereka memutuskan memeluk Islam.
Langkah ini diikuti pula dengan lahirnya kecintaan mereka pada bahasa Arab. Mereka meninggalkan abjad Uighur lama yang selama ini digunakan. Bahasa Arab kemudian mereka gunakan sampai seribu tahun hingga abjad baru Turki muncul pada 1928.
Meski ada abjad baru, kecintaan orang-orang Turki terhadap tulisan Arab tak memudar. Bahkan, mereka melakukan sejumlah perubahan bentuk tulisan Arab. Kecintaan mereka terhadap tulisan Arab, memicu pula perkembangan seni kaligrafi.
Perkembangan seni tersebut kian mencapai kegemilangannya saat lahir sebuah pemerintahan Islam, Turki Usmani. Kaligrafi tak hanya ada di dalam hati warga, tapi pemerintah juga mendorong perkembangan seni kaligrafi tersebut.
Tak heran jika Kota Istanbul, yang merupakan pusat administrasi pemerintahan Turki Usmani, menjadi pusat perkembangan seni kaligrafi. Di kota itu, karya-karya kaligrafi yang paling indah dan sangat berkualitas bermunculan.
Meski seni kaligrafi bukanlah asli Turki, bangsa Turki mampu mengadopsi seni kaligrafi dan mengembangkannya dengan sangat baik. Perkembangan ini diiringi dengan semangat keagamaan dan kesenian yang luar biasa. Termasuk, dukungan dari penguasa.
Saat berkuasa, Sultan Mehmed Sang Penakluk memberikan perhatian besar pada seni murni secara umum dan seni kaligrafi pada khususnya. Ini terlihat dengan banyaknya koleksi tulisan kaligrafi yang ditulis oleh pakar kaligrafi yang dikenal jenius, Syekh Hamdullah (1429-1520).
Karya-karya tersebut diletakkan di Perpustakaan Sultan Mehmed oleh putranya, Pangeran Bayazid. Selain itu, ada prasasti yang ada di Jeli Sulus yang ditulis dengan gaya kaligrafi oleh dua master kaligrafi, yaitu Yahya Sofi dan Ali Sofi.
Keduanya banyak menghasilkan karya kaligrafi pada masa pemerintahan Sultan Mehmed. Sejumlah karya kaligrafi juga bertebaran saat pemerintahan berada di bawah kendali Sultan Bayezid II dan Pangeran Korkut.
Ini menunjukkan pada masa itu juga banyak para ahli kaligrafi yang merupakan murid Syekh Hamdullah, yang berasal dari Amasya. Setelah Pangeran Bayezid naik takhta pada 1481, Syekh Hamdullah pindah ke Istanbul.
Saat itu, Syekh Hamdullah menciptakan karya-karya kaligrafi yang paling sempurna dalam gaya yakut, kemudian gaya tersebut dikembangkan oleh Hayreddin Mar'asi. Dengan dukungan Pangeran Bayezid, Syekh Hamdullah kemudian mampu melahirkan gaya yang benar-benar baru.
Karya kaligrafi Syekh Hamdullah pun menjadi salah satu harta berharga di Istana Topkapi. Menurut catatan sejarah, ia berhasil menciptakan karya-karya kaligrafinya yang sangat fenomenal pada 1485, setelah empat bulan melakukan pengasingan mistik.
Dengan keberhasilannya melahirkan kaligrafi yang berkualitas, Syekh Hamdullah kemudian dipromosikan menjadi pendiri spiritual kaligrafi Turki. Dalam perkembangannya, ia lebih banyak menggali gaya baru kaligrafi, aklâm-i sitte.
Lambat laun, gaya yakut yang sebelumnya ia kembangkan mulai ditinggalkan. Menurut Profesor Ugur Derman yang dikutip laman Muslimheritage, kejeniusan Syekh Hamdullah dalam kaligrafi terlihat pada elemen yang indah dan bentuk pengulangan dalam karyanya.
Bermula dari masa keemasan Syekh Hamdullah, kaligrafi yang berkembang di masa Turki Usmani, terus bertahan selama hampir 500 tahun dan mencapai titik perkembangan dan kejayaan tertinggi pada abad ke-19 dan ke-20.
Seiring dengan perkembangan waktu pula, kekhasan kaligrafi Turki kian mengental. Selain gaya yang pernah dikembangkan Syekh Hamdullah, muncul pula kaligrafi bergaya jeli, yang memiliki bentuk monumental dan biasanya diproduksi dalam skala besar.
Gaya kaligrafi ini juga banyak digunakan untuk panel dekoratif prasasti pada bangunan keagamaan, serta arsitektur bangunan-bangunan publik. Kaligrafi jeli tersebut juga diterapkan pada buku-buku, seperti mushaf.
Di kemudian hari, gaya itu dikombinasikan dengan bentuk-bentuk geometri dan bentuk alam. Secara umum, perkembangan kaligrafi sebagai seni dekoratif disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain, Alquran yang memberikan inspirasi.
Biasanya, para pakar kaligrafi menuliskan ayat-ayat Alquran sebagai hiasan sekaligus simbol keagamaan di masjid-masjid. Tujuannya dari penulisan kaligrafi sendiri bukan hanya sekadar untuk menciptakan dekorasi yang indah.
Namun, kaligrafi juga bertujuan mengingatkan umat manusia untuk setia dan menjalankan ayat-ayat Alquran sebagai petunjuk hidup mereka. Bahkan, di dunia Islam ada sejumlah ayat yang paling sering ditulis dalam bentuk kaligrafi.
Faktor lain berkembangnya kaligrafi adalah keberadaan bahasa Arab yang dianggap penting dalam Islam. Bahasa Arab digunakan dalam doa dan ritual ibadah. Bahkan, dalam budaya Arab berkembang pula keyakinan bahwa ayat-ayat Alquran dapat digunakan sebagai perlindungan.
Maka, tak heran jika ada kaligrafi yang berisi ayat Alquran sering digunakan sebagai perhiasan yang dipakai atau digantung di dinding, agar bisa terhindar dari kejahatan. Ada pula keyakinan sebuah tempat yang dihiasi kaligrafi ayat Aqluran terlindung dari bahaya.
Selain kekhasan gaya yang berkembang di wilayah Turki Usmani, ada dua gaya kaligrafi yang secara umum berkembang di dunia Islam, yaitu kufi dan naskhi. Gaya kufi berasal dari Kufah, merupakan sebuah kota yang dikenal dengan banyaknya penulis transkripsi Alquran.
Gaya kufi biasanya memiliki bentuk huruf berbentuk panjang sehingga cocok untuk hiasan arsitektur. Sedangkan naskhi, merupakan gaya kaligrafi yang lebih tua dibandingkan kufi. Gaya kaligrafi ini lebih banyak dikembangkan di dunia Islam.
Gabungan Kaligrafi dan Bentuk Tumbuhan
Kaligrafi sebagai seni Islam sering dikombinasikan dengan bentuk tumbuhan dan geometris. Ini merupakan alternatif penggabungan kaligrafi dengan gambar binatang. Sebab, orang Islam tak boleh menggambarkan binatang.
Banyak kaligrafi dalam bentuk bunga dengan kelopak-kelopaknya yang sangat indah. Penggabungan seni kaligrafi dengan bentuk tumbuhan banyak ditemukan di masjid, bangunan publik, buku-buku, maupun sampul mushaf Alquran.
Bahkan, gabungan seni kaligrafi dengan bentuk tumbuhan itu masih berkembang hingga sekarang. Demikian pula, dengan bentuk geometris. Bentuk ini sangat populer sebagai alternatif larangan menggambar makhluk hidup seperti binatang dan manusia.
Bentuk geometris sendiri terdiri atas jalinan pola-pola geometris poligon, lingkaran, garis-garis yang saling bertautan. Sejumlah pakar menyatakan untuk menerapkan bentuk geometris ini dibutuhkan pula pengetahuan tentang ilmu geometri.
Dalam Ensiklopedi Nurcholish Madjid, menyebutkan pula mengenai penggabungan kaligrafi dengan tema-tema ekspresi keindahan alam yang mempermainkan segitiga, segi empat, dan sebagainya. Di Masjidil Haram, banyak bentuk bersegi delapan. Ini merupakan contoh arabesk.
Disebut arabesk karena itu merupakan khas Arab yang tidak ada bangsa lain. Namun sebetulnya, juga khas Islam karena dianggap demikian oleh semua bangsa Islam, kecuali Indonesia. Mulai dari Dakka, Bangladesh, hingga Al-Hamra, Granada didominasi arabesk dan kaligrafi.
Kaligrafi dan arabesk itu kemudian ikut memberi ciri medium ekspresi seni Islam yang lain, yaitu arsitektur. Dapat dicatat bahwa warisan arsitektur umat manusia yang paling indah adalah bangunan-bangunan Islam, seperti Taj Mahal di Agra, India.
Juga, ada Masjid Umar atau Kubah Batu di Yerusalem, Palestina. Dalam buku enskiklopedi itu juga diungkapkan bahwa kaligrafi juga kemudian dikenal dan populer di Indonesia. Namun, di tangan para pelukis seperti Amri Yahya, seni itu tak mengikuti standar dunia Islam.
Seperti bentuk-bentuk Naskhi, Kufi, maupun Farisi. Mungkin suatu saat jika mengalami pertumbuhan yang mantap dengan tetap berpijak pada ciri khasnya sendiri, bisa saja kaligrafi di Indonesia yang banyak diwarnai seni lukis Barat, menjadi sumbangan tersendiri bagi dunia Islam.
Namun selama ini, karena kaligrafi di Indonesia memiliki gaya yang agak menyimpang dari standar, cukup sulit dihargai di negeri Islam yang lain, khususnya di Timur Tengah.
*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Rabu, 30 Desember 2009