REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Para pemilik First Travel yang divonis pada 2018 karena melakukan penipuan terhadap 63.310 calon jemaah umrah senilai sekitar 905 miliar rupiah mengajukan uji materi atas penyitaan aset perusahaan.
Dilansir dari Salaam Gateway, Sabtu (22/8), pengacara Andika Surrachman, Anniesa Hasibuan, dan Siti Nuraida Hasibuan mengatakan kepada Salaam Gateway bahwa permintaan peninjauan kembali disebabkan oleh bukti baru yang ia yakini harus menangani kasus awal berdasarkan hukum perdata dan bukan pidana.
Pada 2018, Pengadilan Negeri Depok di Jawa Barat menghukum Andika 20 tahun penjara, Anniesa 18 tahun, dan Siti Nuraida 15 tahun. Aset perusahaan mereka yang sekitar 25 miliar rupiah juga diperintahkan untuk disita. Mahkamah Agung pada 2019 menguatkan putusan tentang penyitaan aset ini.
Kini, Boris Tampubolon, pengacara yang mewakili para pendiri First Travel, mengatakan aset tersebut harus dikembalikan ke perusahaan agar bisa memberi kompensasi kepada para korbannya. “Harta kekayaan yang dirampas negara ternyata tidak mencerminkan keadilan,” kata Boris.
Argumennya adalah bahwa aset seharusnya tidak disita seperti yang diklaim First Travel, sebelum pemiliknya didakwa dan dijatuhi hukuman, bahwa mereka telah mencapai kesepakatan dengan calon jamaah untuk memberi kompensasi kepada mereka.
Dia menambahkan, meski tuduhan kriminal ditujukan pada aktivitas bisnis First Travel untuk periode 2015 hingga 2017, semua aset mereka dari 2009 hingga 2014 juga disita, termasuk rumah dan mobil. Beberapa aset itu diklaim oleh "pihak yang tidak bertanggung jawab", katanya, tanpa memberikan detil.
Dalam persidangan mendatang, yang jadwalnya diperkirakan akan diumumkan dalam dua minggu ke depan, pengacara akan menghadirkan saksi ahli tindak pidana pencucian uang (AML), Yunus Husein, yang berada di belakang UU AML nomor 8/2010.
Prof Mudzakkir, pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia, tidak setuju kasus First Travel harus diadili secara civil law karena uang hasil penipuan calon jemaah haji digunakan untuk kepentingan individu seperti membeli barang mewah, rumah, dan mobil , dan bukan untuk kepentingan bisnis. Pengadilan berhak menangani kasus tersebut berdasarkan hukum pidana, kata Prof. Mudzakkir.
“Sebenarnya kalau First Travel punya niat baik sejak awal dan benar-benar mau mengembalikan uang kepada korban, dan mereka masih punya uang, bisa langsung saja tanpa harus mengajukan peninjauan kembali,” ujarnya.
“Di sisi lain, putusan Pengadilan Negeri Depok, dan juga putusan MA yang menggemakannya, menjadi bumerang karena dalam putusan tersebut semua aset disita oleh negara. Titik. Harus 'koma' dengan tambahan penjelasan, harta yang disita negara akan dikembalikan kepada calon jemaah haji setelah negara bisa membuktikan bukti pembayaran atau dokumen fisik atau elektronik, misalnya,” imbuhnya.
Prof Mudzakkir meyakini bahwa ketika Pengadilan Negeri menjatuhkan putusannya, tidak ada daftar nama korban penipuan tetapi tetap saja, pengadilan seharusnya menyatakan bahwa mereka akan diberi kompensasi jika dan ketika calon jemaah memberikan bukti pembayaran. “Saya pikir putusan pengadilan negara dan Mahkamah Agung harus dibatalkan dan kasus ini harus diadili di bawah hukum perdata untuk memberikan keadilan dan kenyamanan bagi para korban. Jika kasus ini diselesaikan melalui hukum perdata, maka kemungkinan besar korban bisa mendapatkan kembali haknya. Putusan saat ini menurunkan nilai aset yang disita dan terkena penangguhan kewajiban pembayaran hutang atau kebangkrutan. Kesempatan korban untuk mendapatkan kembali haknya lebih kecil, ”tambahnya.
Profesor menyarankan "solusi yang lebih progresif".
“Aset tersebut akan dialihkan ke agen perjalanan BUMN yang akan memberikan jaminan bagi para korban dan memastikan mereka berangkat untuk menunaikan ibadah haji yang diinginkan. Pemerintah, dalam hal ini kementerian BUMN atau kementerian keuangan atau kementerian atau urusan agama, harus memberikan insentif kepada korban, dan bertanggung jawab untuk tidak mengawasi First Travel dengan cara yang benar pada putaran pertama.”
Berita kasus penipuan umrah yang pertama kali pecah pada tahun 2017 mendapat perhatian media internasional karena profil tinggi salah satu pendiri First Travel, Aniesa Hasibuan. Dia membuat sejarah mode ketika dia menunjukkan koleksi busana sederhana berhijab di New York Fashion Week pada September 2016. Dia terlibat dalam NYFW lagi pada Februari 2017.