REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Imam SBK
Sesungguhnya yang halal sudah jelas dan yang haram sudah jelas, di antara keduanya ada perkara syubhat yang tidak diketahui oleh banyak manusia. Barang siapa berhati-hati dengan yang syubhat, ia telah memelihara agama dan kehormatannya. Barang siapa yang terjatuh pada syubhat, maka ia telah terjerumus pada yang haram (HR Muslim).
Hadis tersebut diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW sekitar empat belas abad silam, sebagai peringatan bagi umatnya untuk berhati-hati dalam masalah halal dan haram, serta sesuatu yang tidak jelas (abu-abu) antara halal dan haram. Baik terkait dengan rezeki yang didapat, makanan yang dikonsumsi, pakaian yang dikenakan, nafkah kepada keluarga, maupun hal lain yang terkait dengan hidup kesehariannya.
Semuanya hendaklah berasal dari yang halal, baik halal secara hukum maupun halal secara materi. Allah memerintahkan manusia untuk selektif dalam mengonsumsi segala hal yang menjadi kebutuhan hidupnya (QS al-Baqarah [2]: 168). Pasalnya ia memberikan implikasi yang sangat signifikan dalam kehidupan seseorang, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia ia berdampak pada perilaku, akhlak, psikologi, emosi, kesehatan, dan bahkan keturunan.
Adapun di akhirat ia akan mengantarkan manusia pada dua kemungkinan: surga dengan segala kenikmatannya, atau neraka dengan segala siksanya. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa suatu hari pembantu Abu Bakar datang kepadanya dengan membawa makanan. Seketika Abu Bakar mengambil satu suap dan memakannya.
Pembantu itu pun berkata, ''Wahai Tuan, biasanya setiap kali aku datang membawa makanan, tuan selalu bertanya dari mana asal makanan yang aku bawa. Kenapa sekarang tuan tidak bertanya?'' Abu Bakar menjawab, ''Sungguh hari ini aku sangat lapar, sehingga lupa untuk menanyakan hal itu. Kalau begitu ceritakanlah, dari mana kamu mendapat makanan ini?'' pinta Abu Bakar.
Pembantu itu menjawab, ''Dulu sebelum aku masuk Islam, profesiku adalah sebagai dukun, suatu hari aku pernah diminta oleh salah satu suku untuk membacakan mantra di kampung mereka. Mereka berjanji akan membalas jasaku itu. Pada hari ini, aku melewati kampung itu dan kebetulan mereka sedang mengadakan pesta, maka mereka pun menyiapkan makanan untukku sebagai balasan atas jasa perdukunan yang pernah kuberikan.''
Mendengar hal itu, spontan Abu bakar memasukkan jari ke tenggorokannya agar bisa muntah. Setelah muntah, sahabat dekat Nabi itu pun berkata, ''Jika untuk mengeluarkan makanan ini aku harus menebus dengan nyawa, pasti akan aku lakukan karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, 'Tidak ada daging yang tumbuh dari makanan yang haram, melainkan neraka lebih layak untuk dirinya'.''
*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Jumat, 21 Nopember 2008