Selasa 25 Aug 2020 10:25 WIB

Peci Putih dan Siri: Orang Bugis Naik Haji

Bagi ornag Bugis cita-cita berhaji tertenam di benak karena terus dituunkan.

Jamaah haji tempo dulu menggunakan angkutan kapal laut (ilustrasi).
Foto: wordpress.com
Jamaah haji tempo dulu menggunakan angkutan kapal laut (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, “Pergi haji adalah kebanggaan orang Bugis!” Mungkin bagi orang di luar suku ini, banyak yang heran setelah tahu betapa tingginya minat anak turun para ‘pelaut’ tersebut pergi haji ke Makkah. Faktanya, sangat jelas.

Di kawasan Sulawesi Selatan dan wilayah lain disekitarnya seperti Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Suawesi Tengah  antrean orang pergi haji sudah sangat panjang dan kerapkali disebut ‘tidak masuk akal’ karena telah mencapai rata-rata di atas 25 tahun. Malah di kabupaten Sidrap dan Pinrang misalnya antrean hajinya sudah hampir mencapai 30 tahun.

‘’Ya bagi kami yang orang Bugis, haji adalah kehormatan. Tak berhaji bagi orang Bugis belum menjadi Muslim yang utuh. Pergi berhaji ke Makkah adalah impian semua orang Bugis,’’ kata anggota DPD Hj Nurmawati Dewi Bantilan senator asal Palu.

Untuk mewujudkan niat suci itu, maka mereka pun serius mempersiapkan pendanaannya melalui menabung secara bertahun-tahun. Setiap kali panen, baik itu padi, coklat, atau pun tanaman lainnya, setiap individu menyisihkan uangnya sedikit-demi sedikit.

 

Bahkan, banyak di antara orang Bugis yang berprofesi sebagai pedagang mereka menyicilnya dengan cara menabung secara harian. Ibarat pepatah, demi pergi ke Makkah untuk menyempurnakan iman Islamnya, mereka mengumpulkan sedikit demi sedikit hingga menjadi bukit!

Seorang pengusaha travel haji dan umrah asal Sidrap, Andi Aminudin, menceritakan betapa luar biasanya keinginan orang Bugis untuk naik haji. Mereka akan lakukan apa saja, misalnya mengurangi kelezatan makan dan minum, asalkan bisa menyisihkan uang untuk ke Makkah.

Banyak diantaranya selain menabung, cara mengumpulkan uang untuk biaya haji, mereka lakukan dengan membeli emas secara mencicil. Ketika mereka merasa tabungan atau emasnya tersebut telah cukup untuk membiayai perjalanan haji maka tanpa pikir panjang lagi langsung pergi mendaftar naik haji.

‘’Bagi yang berpunya pakai haji khusus. Bayar 4000 dolar untuk setoran awal dan harus menunggu antrean haji hingga tujuh tahun. Bagi orang biasanya maka mereka membayar setoral awal Rp 25 juta dengan risiko antrean haji hingga lebih dari seperempat abad. Nah, meski anteran begitu panjang kami orang Bugis tetap saja mendaftar,’’ kata Andi.

Bagi orang Bugis, lanjut Andi, biaya pergi haji dari dulu belum banyak berubah. Bila diukur dengan perbandingan emas, biaya haji hanya sekitar empat (4) ringgit uang emas, yakni sekitar 160 gram emas murni. Sedangkan bila disandingkan dengan panenan padi, biaya haji dari dulu masih belum beranjak terllau jauh dari nilai harga 23 ton gabah kering.

‘’Bagi kami orang Bugis, juga termasuk orang Makassar, setiap kalo panen mereka menyisakan beli ringgit emas. Nah, bila sudah terkumpul empat ringgit emas tersebut, mereka langsung tukarkan untuk melunasi biaya haji. Tak hanya itu kebiasaan menyiapkan diri untuk pergi haji sudah mereka siapkan semenjak mereka menikah, dengan cara memberikan mahar dengan bentuk emas,’’ ujar Andi.

Mengapa lebih memilih menabung dengan emas? Andi pun menjawab salah satunya adalah harga emas yang stabil sehingga mereka tak rugi bila hendak menjualnya kala sudah siap naik haji. “Bagi kami pilihan menabung emas juga dapat menghindarkan diri dari situasi ‘gharar’ (gambling) akibat naik.turunya harga kurs dan komoditi. Jadi dengan menabung memakai emas, harta yang dipakai untuk naik haji benar-benar merupakan harta yang bersih dari riba,’’ kata Andi.


Andi yang sudah turun-temurun mengurusi soal layanan jamaah haji asal Makassar, dengan mengumpulkan uang minimal senilai empat dirham emas itu, maka kebutuhan dan biaya hidup jamaah haji bisa tercukupi. Bahkan, kebereadaan ringgit emas di zaman sebelum kemerdekaan menjadi sangat penting. Ini karena para pengusaha maskapai kapal Belanda itu hanya mau melayani angkutan jamaah haji bila mereka dibayar dengan emas.

‘’Bila dibayar dengan uang kertas atau selain emas mereka tolak. Selain itu, di zaman dahulu dengan mempunyai satu keping ringgit emas, maka ketika sampai di Saudi, jamaah haji akan mendapat layanan dua orang ‘khadam’, sewa onta Jeddah-Makkah, dan sewa tenda di di Arafah dan Mina. Nah, dengan empat keeping ringgit emas  maka biaya untuk naik haji bisa terpenuhi,’’ tegasnya.

Panjang dan beratnya perjuangan orang Bugis untuk naik haji, maka begitu pulang ke tanah air, mereka pun menjadi orang yang terhormat. Bila sebelum haji dalam sebuah acara adat mereka lazimnya duduk di bagian belakang, maka ketika sudah berada di kampung halamannya dengan gelar haji, dia pun harus duduk di depan serta langsung dijadikan tokoh masyarakat. Istilahnya, bila dahulu dia dalam acara adat, misalnya pernikahan, bekerja di dapur untuk memasak dan cuci piring, setelah menjadi haji kebiasaan lama itu tak boleh lagi dilakukan.

Istilahnya, setelah pulang haji dengan ditandai dengan peci putih, maka posisi sosial mereka berubah. Namun di sisi lain pada saat posisinya berubah, kewajiban dan tanggungjawab sosial dari pihak penyandang ‘gelar dan berpeci putih’ itu pun sontak berubah menjadi berat. Secara tak tertulis mereka kini harus menjadi sosok teladan masyarakat. Dan ini juga berisiko bila mereka ‘teledor’ menjaga sosok haji atau hajjah, maka sanksi sosialnya pun sangat berat karena akan dikucilkan secara sosial.

“Jadi bagi orang Bugis bila sudah berani naik haji, maka orang tersebut selain harus sudah punya perilaku yang baik dan ilmu keagamaan yang cukup, mereka juga harus sudah siap secara lahir dan batin. Nah, di situlah keberadaan ‘peci putih’ menjadi sakral, bernilai ‘Siri’, dan bukan barang mainan,’’ kata Andi.

Ketua Umum Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji Khusus (Himpuh) Baluki Ahmad  pun membenarkan cerita Andi. Bahkan, katanya, banyak sekali keturunan Bugis yang kini menjadi sosok sukses di Arab Saudi. Salah satunya adalah almarhum Syeikh Abdul Muthalib Bugis yang  pernah menjadi guru ilmu tafsir di Masjidil Haram.

“Jadi kedatangan jamaah haji asal Nusantara, termasuk jamaah asal Sulawesi Selatan, bagi saya dan para pelajar Indonesia yang saat itu tengah belajar di Makkah dan Madinah memang menjadi hal yang  sangat ditunggu-tunggu. Istilahnya, setiap kali musim haji tiba maka keberkahan akan segera datang karena bisa mendapatkan pendapatan tambahan.

“Saya yang saat itu belajar di Saudi merekam situasi itu. Orang-orang Arab begitu hormat kepada para jamaah haji, karena selain mereka adalah orang-orang alim, para jamaah haji itu juga orang kaya. Apalagi jamaah haji asal Nusantara terkenal dermawan dan suka memberi hadiah baik berupa uang atau barang. Kami yang pelajar seringkali menunggu kedatangan mereka untuk mendapatkan makanan enak khas Nusantara seperti dodol, sagon, rendang, dan berbagai macam makan tradisional lainnya,’’ kata Baluki.

-----------------

* Dikutip dari buku 'Tawaf Bersama Rembulan' karya Muhammad Subarkah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement