Selasa 25 Aug 2020 22:19 WIB

Jangan Mengharamkan yang Halal

Mengharamkan yang halal sama dengan menghalalkan yang haram.

Jangan Mengharamkan yang Halal (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Jangan Mengharamkan yang Halal (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Suatu kali, Ali bin Abi Thalib RA berdiri di tengah khalayak penduduk Kuffah. Diambilnya sebuah bejana berisi air, kemudian ia minum sembari berdiri.

Spontan saja tingkah Ali menjadi sorotan orang-orang. Apa pasal yang terjadi pada sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW itu. Mengapa ia mempertontonkan kelakuan ghairu muaddib (kurang adab) karena minum sambil berdiri?

Ali pun bertutur, "Sebahagian orang tidak menyukai minum sambil berdiri. Padahal, Nabi SAW pernah melakukan seperti yang telah aku lakukan ini." (HR Bukhari).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari karangannya menjelaskan, itulah yang dilakoni Ali bin Abi Thalib RA dalam mencegah kemungkaran. Kemungkaran bukan hanya dalam konteks menghalalkan yang haram, melainkan juga mengharamkan yang halal.

Nahi mungkar bukan hanya pencegahan bagi orang yang akan melakukan perbuatan haram. Sebaliknya, perbuatan yang sejatinya tidak haram tak boleh ada pencegahan untuk melakukannya. Inilah yang ditegaskan Rasulullah SAW, "Siapa yang mengharamkan yang halal sama dengan orang yang menghalalkan yang haram." (HR Thabrani).

Ali RA khawatir jika penduduk Kuffah menganggap minum dalam kondisi berdiri adalah terlarang. Jika dibiarkan berlarut-larut, masyarakat awam akan meyakini perbuatan itu adalah haram. Ibnu Hajar mengatakan, hendaklah orang alim yang mengetahui hukum segera menjelaskan hukum persoalan tersebut sekalipun tidak diminta.

Rasulullah SAW sendiri melakukan banyak hal untuk mengubah pola pikir masyarakat Arab yang suka mengharamkan sesuatu yang halal. Misalnya, adat masyarakat Arab mengharamkan untuk menikahi wanita yang telah diceraikan anak angkat. Padahal, tak ada larangan seperti ini dalam Islam. Rasulullah SAW pun menikahi Zainab binti Jahsy setelah diceraikan anak angkat Beliau SAW, Zaid bin Haritsah.

Tindakan anti-mainstream tersebut tentu jadi kontroversi di masyarakat Arab. Namun, begitulah cara Rasulullah SAW agar umatnya tak menganggap tabu apa yang sebenarnya dihalalkan Allah SWT. Karena, mengharamkan sesuatu yang sebenarnya halal sama berat konsekuensinya dengan menghalalkan apa yang diharamkan.

Pernah suatu kali Rasulullah SAW keceplosan mengatakan tidak akan meminum madu. Beliau SAW hendak mengharamkan meminum madu bagi dirinya sendiri karena kerap berpotensi konflik dari istri-istri Beliau SAW. Ketika itu Beliau SAW langsung mendapatkan teguran Allah SWT dalam Alquran, "Hai Nabi, mengapa engkau haramkan apa yang Allah halalkan bagimu? Engkau hendak mencari kesenangan hati istri-istrimu." (QS at-Tahrim [66]: 1).

Hikmahnya, sedemikian kuatnya Islam memperhatikan kebebasan hidup bagi umatnya. Dari sekian banyak hal yang halal, hanya segelintir yang diharamkan Allah SWT. Kalaupun ada yang diharamkan, pasti syariat memberikan solusi alternatif. Misalkan, Allah SWT mengharamkan riba. Solusinya Allah halalkan jual beli. Allah SWT mengharamkan zina. Solusinya Allah halalkan pernikahan. Demikian seterusnya.

Syariat yang diturunkan Allah SWT bagi manusia sudah sangat sempurna dan menyeluruh. Demikian juga soal pengaturan halal-haram yang dijalankan umat manusia. Jadi, manusia tak boleh melanggar hal-hal yang sudah diharamkan. Demikian pula, manusia tak boleh menambah-nambah item pengharaman yang sebenarnya dihalalkan Allah SWT.

Ketika manusia mengharamkan yang halal, ia telah melahirkan suatu syariat baru. Hukumnya sama seperti perbuatan bid'ah (mengada-ada). Allah SWT dilecehkan karena syariat-Nya serasa tidak sempurna, jadi butuh penambahan-penambahan.

Inilah yang perlu diperhatikan para mubaligh, umara, pemangku adat, dan pengambil kebijakan di masyarakat. Mengimbau orang agar tak melakukan perbuatan haram sudah biasa. Tetapi, mengimbau orang agar tak mengharamkan sesuatu yang halal masih kerap diremehkan. Padahal, secara hukum, keduanya punya dosa yang sama.

Sangat banyak didapati dalam kehidupan kultural masyarakat, hal-hal yang halal tetapi dijustifikasi sebagai perbuatan terlarang. Segolongan pihak ada yang menganggap tabu, padahal perbuatan tersebut hakikatnya halal. Mulai dari aturan adat yang melarang pernikahan sepersukuan, larangan-larangan adat soal pernikahan dan warisan, hingga paradigma poligami.

Kaum yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT pasti mendapat petaka. Banyak bukti dari umat-umat terdahulu hingga sekarang yang dilaknat karena melanggar batas-batas yang diharamkan Allah SWT.

Demikian juga petaka yang akan menghampiri kaum yang mengharamkan apa yang dihalalkan Allah SWT. Contoh ringannya, larangan adat yang tak membolehkan adik menikah lebih dulu dari kakak. Karena tak kunjung diperbolehkan menikah, akhirnya si adik pun terjatuh pada perzinaan. Inilah petaka yang lahir akibat pengharaman sesuatu yang dihalalkan Allah SWT.

Demikian juga hal-hal yang patut menjadi perhatian bagi para pemimpin. Ketika melahirkan kebijakan jangan terkesan menciptakan suatu syariat pengharaman bagi hal-hal yang dihalalkan Allah SWT. Kaidah asalnya, sesuatu yang sejatinya halal tak boleh dilarang untuk melakukannya. Terkecuali ada aspek maslahat dan mudarat yang terkandung dalam larangan tersebut. Wallahu a'lam. 

 

*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Rabu, 23 Desember 2015

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement