REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Irawati Prillia/Traveler, Bermukim Di Inggris
Ibu kota Georgia ini secara geografis terletak di jalur perdagangan penting masa silam, Jalur Sutra. Berkali-kali dikuasai oleh kekuatan asing di zaman dahulu membuatnya bersentuhan dengan banyak budaya. Masa silam dan zaman modern telah berpadu sempurna di sini. Keduanya menghasilkan atraksi wisata penting dan menarik.
Menurut legenda, Tbilisi didirikan oleh Raja Vachtang Gorgasali pada abad ke-5 Masehi di tepi Sungai Mtkwari. Kota ini berbentuk teras di kedua sisi Mtkwari, dikelilingi perbukitan setinggi hingga 400 mdpl. Beberapa bangunan tua masih berdiri. Berbaur dengan simbol-simbol modernitas.
Selama berada di kota ini, saya dan keluarga me ngunjungi bagian kuno maupun modern Tbilisi. Mobilitas bukan masalah berarti. Angkutan umum dalam kota bisa dimanfaatkan dengan mudah dan murah. Orang bisa menggunakan marshruska maupun metro. Marshruska adalah sebutan bagi angkutan umum di Georgia. Di Tbilisi, warnanya kuning, tapi bentuknya bermacam-macam.
Ada yang mirip minibus, bus, colt, atau mobil kijang. Tarifnya sekali jalan setengah lari. Tiketnya bisa dibeli langsung pada sopir atau beli kartu isi ulang. Di dalam kota, saya lebih suka menggunakan metro. Halte metro jauh di perut bumi, ada pula yang berada di permukaan tanah. Di dalam tanah, mereka dicapai dengan eskalator panjang. Stasiunnya megah walau terkesan kuno. Selalu ada petugas keamanan yang menjaga dan sayangnya tidak boleh difoto.
Saya memulai penjelajahan kota di kota tua yang letaknya dekat penginapan kami. Sebuah kawasan multietnis, multibudaya, multireligi Tbilisi. Di tempat berdekatan berdiri gereja Ortodoks-Georgia, gereja Gregorian- Armenia, gereja Katolik-Roma, sebuah kuil api Zoroaster, sebuah sinagog, dan sebuah masjid. Warga Tbilisi kebanyakan beragama Ortodoks. Banyak warga lokal masuk gereja untuk berdoa walau sejenak. Bila tak masuk gereja pun, mereka selalu berhenti sejenak, menunduk, lalu membuat tanda salib setiap melihat sebuah gereja.
Dari penginapan, saya susuri Jalan Jerusalem. Waktu itu, tak terlihat turis lain berkeliaran di sini. Kami berbaur dengan warga lokal. Yang sesekali menatap kami lekatlekat, mungkin jarang ada turis berwajah Asia. Perjalanan kaki penuh perjuangan. Sebab, permukaan trotoar tak rata, berlubang, sesekali berubah fungsi jadi tempat buang air anjing atau kucing, serta jadi tempat parkir mobil.
Kami naik ke Betlemi street-stairs. Saya terus naik hingga berada di pelataran gereja Armenia. Rumah ibadah satu ini sepertinya tak digunakan lagi. Sepi, tanaman liar tumbuh di sebagian dinding. Jauh di atas sana, terlihat patung Kartlis Deda, ibu bangsa Georgia. Memegang sebuah cawan di tangan kiri, dan sebilah pedang di tangan kanan. Menyilangkannya di depan perut.
Kami kembali meniti jalanan sempit di antara rumah penduduk. Mampir sebentar di kuil api Zororaster, Ateshgah. Konstruksi bata merah segi empat ini ditutupi atap fiberglass. Sepi sekali dan tak ada keterangan mengenai jam bukanya. Kampung tertua Tbilisi sepertinya bukan spot favorit para turis.
Turun menuju Meidan Square, kami melalui jalanan kampung tanpa paving block. Di daerah ini banyak rumah khas Tbilisi cantik. Mereka memiliki warna-warna cerah; biru, ungu, hijau, kuning, merah muda. Rumah bertingkat 2-3 ini berbalkon kayu dengan ornamen ukiran. Meidan Square adalah daerah ramai. Taksi-taksi berbaris menunggu penumpang. Rumah makan selera internasional bisa ditemukan di sini dan di Jalan Chardin. Pun beberapa kedai makanan halal.
Di sore cerah itu, kami putuskan naik gondola gantung. Kembali menuju sebuah punggung bukit. Di mana reruntuhan Benteng Narikala berdiri. Tarifnya 2 lari (Rp 12 ribu) per orang. Anak-anak separuhnya. Banyak warga lokal dan turis menggunakan moda transportasi ini. Ia berjalan lambat di atas Sungai Mtkwati dan Kampung Betlehem. Sehingga, kami punya waktu untuk mengamatinya dari ketinggian.
Narikala, benteng kuno dari abad keempat, waktu Georgia dikuasai Persia. Ia terbuat dari batu alam dan bata. Menara dan temboknya masih gagah menjulang di atas bebatuan bukit. Dari samping benteng, ada jalan menuju patung Kartlis Deda. Kebanyakan penumpang gondola gantung berjalan mendaki ke arah sana. Satu dua orang berfoto berlatar belakang benteng. Seorang ibu tua duduk menggelar dagangan berupa tisu dan makanan ringan.
Turun, kami pilih menuruni undakan saja. Tapi, bukan ke Meidan square. Melainkan ke arah timur menuju Abanotubani. Dari atas, kami amati sebuah menara masjid dan kubah-kubah kecil pemandian umum.
Masjid Tbilisi punya satu menara segi delapan. Puncak menaranya mirip telur. Kami masuk sebentar. Sembari menghangatkan badan. Penjaganya berbahasa Turki. Saya kaget mendapati bagian dalam masjid punya dua mimbar dan dua mihrab. Ternyata masjid ini digunakan oleh muslim Syiah maupun Suni. Sesuatu yang jarang terjadi. Georgia sendiri memang pernah terbagi di bawah dua kekuatan Islam. Turki di Barat, Persia di Timur.
Hanya berpuluh meter dari masjid, berjajar pemandian air belerang, di Abanotubani. Menurut legenda, dari sini nama Tbilisi berasal. Dara kata ‚tbili’, berarti hangat. Sayangnya kami tak punya waktu untuk menjajal air belerang hangat berkhasiat menyembuhkan aneka penyakit tersebut.
*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Selasa, 14 Oktober 2014