Selasa 08 Sep 2020 22:57 WIB

Arsitektur Lokal Masjid Agung Demak yang Sarat Simbol

Arsitektur Masjid Agung Demak dinilai khas masyarakat muslim Nusantara.

Rep: Pryiantono Oemar/ Red: Muhammad Fakhruddin
Arsitektur Lokal Masjid Agung Demak yang Sarat Simbol (ilustrasi).
Foto: wikipedia
Arsitektur Lokal Masjid Agung Demak yang Sarat Simbol (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA --  Pada akhir November 2004, kubah Masjid Ki Ageng Selo di Desa Selo, Tawangharjo, Kabupaten Purwodadi-Grobogan, Jawa Tengah, disambar petir. Kubah batu semen itu pecah. Ini kali pertama petir 'berani' beraksi di Desa Selo.

Menurut kepercayaan masyarakat Desa Selo, sejak petir ditangkap Ki Ageng Selo di abad ke-15, petir tak akan berani menyambangi wilayah mereka. Ketika ada guruh, warga meneriakkan 'gandrik cucu ki ageng selo'. Warga percaya, cara itu bisa mencegah guruh menjelma menjadi petir. Di ITB, dekade 90-an, ada router yang diberi nama ki-ageng-selo.itb.ac.id, dengan alasan agar tak disambar petir kali ya.

Ki Ageng Selo adalah keturunan Brawijaya, raja Majapahit, yang kemudian menurunkan raja-raja di Mataram. Ki Ageng Selo dimakamkan di Desa Selo, Tawangharjo, Kabupaten Purwodadi-Grobogan. Di makam ini, ada dian yang apinya dipercaya merupakan api dari petir yang ditangkap dulu.

Jasa Ki Ageng Selo menangkap petir itu kemudian diabadikan lewat ukuran di pintu Masjid Agung Demak. Daun pintu berukir kepala naga bermahkota dengan mulut terbuka (gambaran kepala petir yang ditangkap Ki Ageng Selo) itu berada di pintu utama masjid. Pintu ini disebut lawang bledheg (pintu petir), simbol dari upaya pengendalian diri.

Ukiran itu dibaca berdasarkan kronogram sebagai kalimat naga mulat sarira wani. Kalimat ini diartikan sebagai tahun 1388 Saka. Jika dialihkan ke tahun Masehi, sama dengan tahun 1466. Masjid ini mulai dibangun Jumat Legi 1428 M.

Di Masjid Agung Demak bisa dilihat adanya tiang yang tersusun dari tatal (bilah-bilah kecil pecahan kayu), dhampar kencana (dipan emas) delapan tiang yang disebut saka majapahit. Di sekitar masjid ada makam sultan Demak.

Masjid Agung Demak berukuran 31 x 31 meter. Serambinya berukuran 31 x 15 meter. Ruang beduk berukuran 3,5 x 2,5 meter. Ada 128 tiang yang menyangga masjid ini. Tiang utama ada empat (soko guru) salah satunya tiang dari tatal yang menjadi tanggung jawab Sunan Kalijogo. Serambi disangga 28 tiang, tatak rambat yang berukuran 25 x 3 meter disangga 34 tiang.

Di depan masjid ada alun-alun. Di Demak Bintoro masa itu, bangunan masjid, alun-alun, dan kraton merupakan satu-kesatuan kawasan kegiatan kemasyrakatan dan keumatan. Renovasi pernah dilakukan pada 1987. Dananya mencapai Rp 688 juta, berasal dari APBN dan bantuan OKI, Arab, Turki, Malaysia, dan Brunei.

Masjid ini diakui Organisasi Konferensi Islam (OKI) sebagai monumen Muslim dengan arsitektur khas yang sesuai dengan dinamika zaman. Arsitektur Masjid Agung Demak dinilai khas masyarakat muslim Nusantara. Bahan kayu, bentuk kotak, merupakan upaya menyelaraskan bangunan masjid dengan kondisi alam Nusantara.

Menggunakan atap segitiga sama kaki bersusun tiga, ini dinilai sebagai hasil ijtihad untuk mengadopsi arstitektur lokal, tidak arsitektur Timur Tengah. Atap susun tiga itu dilambangkan sebagai iman, Islam, dan ihsan. Lima pintu perlambang lima rukun Islam, enam jendela lambang enam rukun iman.

 

*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Minggu, 09 Desember 2007

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement