REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dekan Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta) IPB University Prof Kudang Boro Seminar mengatakan bahwa sistem ketelusuran (traceability) dalam rantai pasok sapi potong bisa membantu mengatasi permasalahan hulu ke hilir yang disebabkan mafia sapi.
"Pemegang kewenangan dan hukum perlu mengetahui bila produsen telah mengikuti praktik pemotongan hewan yang baik untuk memenuhi rantai nilai dan produksi daging sapi. Kasus pengoplosan daging serta permainan harga yang diakibatkan oleh mafia sapi dari hulu ke hilir masih sering ditemukan, sehingga sistem 'traceability' merupakan salah satu solusi untuk mengatasinya," katanya dalam pelatihan virtual IPB University bekerja sama dengan Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI), Senin (21/9).
Konsep "traceability" berbasis teknologi informasi merupakan sistem yang harus segera diimplementasikan di Indonesia karena sistem ketelusuran untuk sapi lokal belum ada, kata pakar komputasi pertanian itu menurut keterangan resmi IPB University yang diterima di Jakarta, Senin (21/9).
Ia mengatakan dengan adanya sistem tersebut, perjalanan suatu produk agroindustri mulai dari awal penemuan bibit unggul sampai ke tangan konsumen beserta pihak yang terlibat di dalamnya akan lebih mudah diidentifikasi dan diawasi.
Selain itu, "e-traceability" tidak terbatas ruang dan waktu serta kemampuan mengakses informasi lebih cepat dengan bantuan satelit. Perubahan sistem pelacakan sapi digital menggunakan radio frequencyidentification (RFID) itu dapat menjadikan pengawasan terhadap pelaku usaha sapi potong lebih terpadu, memenuhi prinsip animal welfare dan penjaminan kehalalan.
"Jadi pada dasarnya kita dapat mengusung 'food protection', 'food defense', 'sustainability' dan 'security'," kataKudang Boro Seminar.
Menurut Supply Chain Manager PT Tanjung Unggul Mandiri Tri Nugrahwanto,yang ikut menjadi narasumber dalam pelatihan itu praktik "traceability" itu mulai diterapkan usai penghentian ekspor sapi Australia pada tahun 2011.
Ia mengatakan penghentian ekspor sapi ini diketahui karena pelaku usahanya melakukan pelanggaran "animal welfare". Menurut dia sistem pelacakan "feedlot" dilakukan mulai dari unloading sapi di pelabuhan hingga rumah pemotongan hewan (RPH) maupun pedagang. Sistem tersebut juga dipraktikkan untuk memenuhi rantai pasok dengan adanya audit pada setiap lini.
Manfaat lain dari sistem "e-traceability" ini ditujukan untuk meningkatkan potensi ekonomi peternak melalui keterlacakan data sapi hingga penentuan kisaran harga pasar dapat tercipta lebih baik, demikian Tri Nugrahwanto.